WACANA

Dalam sebuah pandangan pemikiran

08.02

Kodifikasi Hadis: Sebuah Telaah Historis

Diposting oleh Halimatus Sa'dyah

Abstrak,Nurun Najwah.Orisinalitas dan otentitas hadis sebagai sesuatu yang valid dari Nabi sering dipersoalkan para Inkarus-sunnah maupun Orientalis. Terlambatnya proses kodifikasi hadis dari masa Nabi, termasuk di antara dasar argumen penolakan mereka terhadap hadis. Tulisan ini mencoba menjawab persoalan tersebut, dalam tinjauan historis. Ternyata dapat dibuktikan bahwa penulisan hadis sudah ada dan banyak dilakukan--ada 52 sahabat--pada masa Nabi, hanya belum seluruhnya ditulis, karena adanya alasan-alasan yang argumentatif. Adanya al-Sahifah al-Sahihah (pertengahan abad I H) dan Nuskhah Suhail ibn Shalih (sepertiga awal abad 2 H), sebagai bukti sudah adanya tulisan-tulisan masa awal. Terjaganya tulisan-tulisan awal dengan dinukilnya tulisan-tulisan tersebut secara kitabah’maupun oral transmission oleh generasi berikut dengan metode kutipan--yang bisa diandalkan--dan dengan metode komparatif sampai terkodifikasinya hadis secara resmi dan serentak, abad II-III H, juga sebagai bukti lain tidak perlunya meragukan orisinalitas seluruh tulisan hadis.
I. Pendahuluan
Peran hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh mayoritas madhhab, tidak dapat dinafikan. Terlebih banyak nas al-Qur’an menegaskan tentang itu, seperti dalam Q.S. al-Hashr (59): 7; al-Nisa>’ (4): 80,; al-Ahzab (33): 21, dan lain sebagainya. Hadis memang diperlukan untuk menjelaskan, dan menegaskan apa yang tertuang secara global dalam al-Qur’an.
Ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa keberadaan hadis jelas berbeda dengan al-Qur’an. Untuk kasus al-Qur’an, hampir bisa dikatakan tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan dan kodifikasinya, bahkan Rasul sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya menjadi penulis wahyu. Sementara untuk hadis, kodifikasi hadis secara resmi, massal dan serentak --khususnya Kutub al-Sittah-- memiliki rentang yang cukup panjang dengan masa Nabi. Realitas tersebutlah yang mencuatkan pandangan beberapa pihak untuk mempersoalkan orisinalitas dan otentitas hadis Nabi.
Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis akan mengemukakan bagaimana dan kapan sebenarnya hadis mulai ditulis untuk kemudian dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Berapa lama diperlukan untuk mentransmisi “hadis” dalam bentuk “laporan tertulis” qaul, fi’il dan taqrir Nabi, sehingga akan dapat menampakkan perlu tidaknya mempersoalkan otentitas dan orisinalitas hadis Nabi.

B. Sekitar Penulisan Hadis
1. Masa Nabi dan Sahabat
Tentang penulisan hadis pada masa awal, ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa masa Nabi dan sahabat, tidak ada tulisan ataupun catatan sama sekali, sehingga tidak ada bukti tertulis yang diketahui para tabi’in tentang hadis Nabi. Penulisan dan kodifikasi hadis baru dilakukan jauh setelah itu, yakni masa para tabi’in, itupun atas perintah penguasa ‘Abbasiyyah (‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz). Hal ini terbukti, tidak adanya bukti tertulis dari Nabi atau sahabat yang asli. Pandangan ini dipegangi kelompok yang mempersoalkan orisinalitas hadis Nabi.
Kedua, pendapat yang dikemukakan Jumhur Ulama Hadis Sunni, yang menyatakan bahwa penulisan hadis sejak masa Nabi sudah dilakukan, hanya bersifat perseorangan, yang ditulis para sahabat tertentu untuk dirinya sendiri. Mereka berpandangan, tertundanya penulisan, kompilasi dan kodifikasi hadis, karena beberapa hal; yakni, minimnya sarana tulis dan kemampuan untuk menulis dengan baik, hafalan para sahabat yang kuat dan larangan Nabi untuk menulis hadis.
Ketiga, pendapat yang menyatakan penulisan hadis sudah marak pada masa Nabi --meski tidak semua hadis sudah selesai ditulis--bahkan tercatat ada 52 sahabat yang memiliki tulisan Hadis, yang ini menjadi rintisan kodifikasi hadis. Argumen yang mereka pegangi adalah tradisi tulis menulis sudah ada bahkan telah marak pada masa Nabi, sebagai bukti : (I) Banyaknya penulis wahyu, mencapai 40 0rang (ii) Adanya penulis resmi untuk kenegaraan, seperti surat menyurat dan perjanjian-perjanjian (iii) Adanya izin Nabi yang membebaskan tawanan perang Badr dengan ditukar mengajar baca tulis pada 10 orang
(iv) Adanya Hadis Riwayat Abu Daud, yang artinya “ Mengapa engkau tidak mengajar wanita itu mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajari mereka menulis?”
Dari tiga pendapat di atas, penulis cenderung mengikuti pandangan yang menyatakan bahwa penulisan hadis sudah ada sejak masa Nabi dan banyak dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana tercatat dalam sejarah adanya manuskrip-manuskrip peninggalan abad 1 H dan banyaknya riwayat sahabat dan tabi’in yang menyatakan pernah melihat dan meriwayatkan hadis-hadis dari tulisan para sahabat. Hanya saja, memang seluruh hadis Nabi belum tertulis dan tercatat pada masa awal secara tuntas.
Dengan demikian, bila sejak masa Nabi tradisi tulis menulis sudah marak dan banyak sahabat yang menulis hadis, maka adanya alasan belum tertulisnya dan terkodifikasinya hadis secara tuntas masa Nabi atau alasan tertundanya kodifikasi hadis bukan karena kelangkaan sarana tulis, minimnya kemampuan menulis dan rendahnya kualitas tulisan mereka. Argumen yang mendasari adalah: pertama, karena sejarah telah mencatat keberhasilan penulisan al-Qur’an secara tuntas dan pengkodifikasiannya masa sahabat. Kedua, seandainya para sahabat memiliki kemauan menulis hadis secara total, pasti tidak ada kesulitan untuk mewujudkannya, sebagaimana terhadap al-Qur’an. Kalau para sahabat terbatas kemampuannya dalam menulis, mustahil al-Qur’an selesai ditulis. Ketiga, untuk apa dilarang menulis hadis, kalau mereka tidak dianggap tidak memiliki kemampuan. Adanya larangan melakukan sesuatu berarti pula penegasan adanya kemungkinan besar sesuatu itu dapat dilakukan. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa mayoritas umat pada saat itu minim kemampuan tulis dan baca serta lebih mengandalkan kemampuan verbal atau kekuatan ingatan, bukan berarti me-generalisasikan semua sahabat dalam taraf yang sama dari kapasitas kekuatan hafalan dan bahwa tidak ada yang bisa menulis dengan baik.
Di antara 52 sahabat yang memiliki catatan hadis ialah: Abu Umamah al-Bahili, Abu Ayyub al-Ansari, Abu Bakar al-Siddiq, Abu Bakrah al-Thaqafi, Abu Rafi’, Abu Sa’id al-Khudhriy, Abu Shah, Abu Musa al-Ash’ari, Abu Hurairah,Ubay bin Ka’ab, Usaid bin Hudair, Anas bin Malik, al-Barra’ bin Azib, Jabir bin Samurah, Jabir bin ‘Abdullah, Jarir bin ‘Abdullah al-Bajali, Zaid ibn Thabit, ‘Aishah, ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Uthman bin Affan, Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, Ali bin Abi Talib, dsb.
Di antara tulisan-tulisan hadis masa awal yang sampai kepada kita, mengambil dua bentuk, pertama dalam bentuk naskah yang lengkap, seperti: al-Sahifah al-Sahihah, karya Hammam bin Munabbih (40-101 H), sahifah ini berisi kompilasi hadis yang diambil Hammam dari catatan Abu Hurairah (w. 59 H), sahabat yang menyertai Nabi selama 4 tahun. Dua naskah sahifah ini ditemukan oleh Muhammad Hamidullah di Berlin dan Damaskus. Sahifah ini memiliki nilai sejarah, karena Hammam dipastikan bertemu sebelum meninggalnya Abu Hurairah (w. 59 H), yang itu berarti pada pertengahan abad I H telah ada upaya kompilasi hadis. Sebagai bukti yang lain yang menguatkan, Imam Ahmad bin Hanbal menukil semua hadis dari al-Sahifah al-Sahihah(138 hadis) tersebut dalam Musnad Ahmad, dan Imam Bukhari menukil sebagian besar hadis dalam al-Shahifah al-Shahihah. Adapun naskah awal yang lain, ialah Nuskhah Suhail ibn Salih (w. 138 H). Naskah ini ditemukan dalam bentuk manuskrip oleh Muhammad Mustafa Azami pada tahun 1966 di Perpustakaan al-Zahiriyyah, Damaskus. Naskah ini merupakan naskah yang diterima Suhail dari ayahnya Abu Salih dan ayahnya menerima dari Abu Hurairah. Oleh Azami, naskah tersebut diteliti, diedit dan diterbitkan beserta Disertasi Doktornya di Universitas Cambridge, Inggris. Hal ini memperkuat bukti bahwa hadis sudah ditulis sejak dini, masa-masa awal Islam.
Adapun yang kedua, dalam bentuk periwayatan dari sahabat, tabi’in atau tabi’i al- tabi’in yang menyatakan pernah melihat dan meriwayatkan dari tulisan dan catatan sahabat dan tabi’in dari sahabat. Adapun catatan-catatan asli dari para sahabat, sebagian besar tidak dapat kita temukan aslinya, dan paling banyak kita dapatkan bahwa catatan-catatan mereka telah dikutip oleh para murid dan seterusnya yang mereka kemudian mengkodifikasikannya dalam kitab hadis. Meski catatan atau tulisan tentang hadis dari para sahabat tidak kita temukan bentuk aslinya, dan para murid-nyalah yang kemudian menukilkannya, namun bukan berarti bahwa realitas tersebut menafikan otentisitas suatu hadis, karena para transmitter hadis memiliki metode komparasi dalam meriwayatkan hadis, dan ini dapat dibuktikan bahwa seringkali dalam tema tertentu yang sama , kita menemukan sumber jalur yang berbeda yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan.
2. Kebolehan dan Larangan Menulis Hadis Nabi
Masalah boleh tidaknya menulis hadis Nabi, merupakan problem yang menarik untuk dikaji, mengingat adanya anggapan hal tersebut sebagai salah satu faktor tertundanya kodifikasi hadis. Dalam hal ini ternyata, ada beberapa riwayat hadis yang menyatakan kebolehan dan larangan menulis Hadis yang disandarkan pada qauliyyah Nabi.
a. Larangan Menulis
Ada tiga sahabat --yang populer-- yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW. melarang penulisan hadis, yakni Abu Sa’id al-Khudhriy, Abu Hurairah dan Yazid bin Thabit. Ada dua jalur sanad yang melalui sahabat Abu Sa’id al-Khudhriy:
1).Abu Sa’id :
(a) melalui Hammam dari Zaid bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar dari Abu Sa’id al-Khudhriy dari Nabi bersabda:
لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه
Artinya:
“Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku, dan barang siapa menulis ucapan-ucapanku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”.
Jalur ini dinilai, sahih al-isnad.
(b) Melalui ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari Zaid bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar dari Abu Sa’id al-Khudhriy:
جهدنا بالنبى صلى الله عليه وسلم أن يؤذن لنا فى الكتاب فأبى
Artinya:
“Kami pernah minta izin Nabi SAW. untuk menulis hadis-hadis , tetapi beliau tidak mengizinkannya “.
Dalam jalur ini, ada rawi yang dinilai lemah, yakni ‘Abd al-Rahman.

2). Abu Hurairah
Melalui Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari Zaid bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, Nabi diberitahu bahwa banyak sahabat menulis hadis, maka beliau naik ke mimbar dan setelah membaca hamdallah, beliau bertanya: Apa yang kalian tulis? Hadis-hadis yang kami dengar dari engkau. Nabi lalu bersabda:
كتاب غير كتاب الله ؟ أتذرون ؟ ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله
Artinya:
“Kitab selain kitab Allah? Tahukah kalian? Tidaklah tersesat umat-umat sebelum kalian., kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersanma Kitabullah”.
Sanad ini lemah, karena ada rawi yang da’if, ‘Abd al-Rahman.
3). Zaid bin Thabit
Dari Mutalib bin ‘Abdullah bin Hantab, Mutalib berkata Zaid bin Thabit datang kepada Mu’awiyyah, dan ditanya tentang suatu hadis. Mu’awiyyah lalu menyuruh pembantunya menuliskan hadisnya, Zaid lalu mengatakan Rasul melarang untuk menulis hadis. Riwayat ini dianggap lemah, karena Mutalib tidak langsung mendengar dari Zaid.
Dari beberapa jalur riwayat di atas, berdasar pentakhrijan para ulama, satu jalur sanad dari Abu Sa’id melalui Hammam yang kualitasnya sahih, dua jalur lain melalui ‘Abdal-Rahman yang dianggap da’if dan satu jalur riwayat Zaid dianggap tidak muttasil.
b. Kebolehan Menulis
Ada beberapa riwayat yang menyatakan kebolehan menulis hadis-hadis Nabi, di antaranya dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘As, Rafi’ ibn Khudaij, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.
1). ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, menyatakan bahwa ia menulis segala yang didengar dari Nabi dan menghafalkannya, tetapi kaum Quraisy menegurnya dengan alasan “Engkau menulis segala apa yang Engkau dengar dari Nabi padahal Nabi manusia biasa yang berbicara pada saat marah dan lega”, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘As lalu melapor kepada Nabi. Nabi pun menunjuk mulutnya, seraya menyatakan:
اكتبوا فو الذى نفسه بيده ماخرج منه الا الحق
Artinya:
”Tulislah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang haq (benar).”
2).Rafi’ibn Khudaij
Rafi’ bertanya kepada Nabi, “Kami mendengar banyak hal dari engkau apakah kami boleh menuliskannya? Jawab Nabi :
أكتبوا ولا حرج
Artinya:
“Tulislah dan tidak apa-apa”.
3). Abu Hurairah
Pada peristiwa Fath al-Makkah, Nabi berpidato di hadapan umat Islam. Ketika itu, ada seorang sahabat dari Yaman bernama Abu Shah meminta kepada Nabi agar dituliskan pidato Nabi. Nabi lalu menyuruh para sahabat menuliskan:
أكتبوا له
Artinya:
“Tuliskanlah untuk Abu Shah”.
4). Ibnu ‘Abbas
Bahwa tatkala Nabi sakit sangat parah, beliau berkata:
إيتونى بكتاب أكتب لكم كتابا لاتضلوا من بعده
Artinya:
”Bawakan kepadaku suatu kitab. Aku akan menuliskannya untuk kalian, yang setelah itu kalian tidak tersesat”. Umar berkata, sesungguhnya Nabi sedang sakit dan mereka telah memiliki al-Qur’an. Sehingga para sahabat berselisih pendapat, dan terjadilah kegaduhan. Beliaupun bersabda:
قوموا عنى ولا نتبفى عندى التنازع
“Tinggalkan aku, tidak seyogyanya kalian bertikai di depanku.”
Berdasar penelitian para ulama hadis beberapa riwayat di atas, khususnya yang berasal dari Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim berkualitas sahih, sehingga dapat diambil kehujjahannya.
Berangkat dari beberapa riwayat yang muta’aridah atau kontradiktif tersebut, beberapa ulama menawarkan solusi untuk memahaminya:
(I) Hadis yang melarang penulisan hadis (hanya satu hadis yang sahih) mauquf ‘alaih atau ditangguhkan, sehingga tidak dijadikan hujjah.
(2) Dengan metode al-jam’u wa al-taufiq, bahwa larangan terhadap penulisan hadis berlaku khusus bila penulisan hadis dan al-Qur’an dalam satu naskah sehingga menjadikan kekhawatiran bercampurnya tulisan hadis dan al-Qur’an. Sehingga ketika “illat” yang tersirat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi.
(3) Larangan berlaku bagi orang yang dapat diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan memiliki ketergantungan dengan tulisan. Sedang kebolehan berlaku bagi orang yang tidak bisa mengandalkan hafalannya, seperti kasus Abu Shah.
(4) Bahwa Larangan bersifat umum, kebolehan bersifat khusus bagi yang mahir baca tulis, sehingga tidak dikhawatirkan melakukan kesalahan, sebagaimana kasus Abdullah ibn ‘Amr in ‘As.
Empat pandangan di atas meskipun agak berbeda, sebenarnya mengarah pada realitas kebolehan menulis hadis Nabi, hanya saja pendapat kedua yang paling menukik dengan mensyaratkan “illah” tidak satu naskah dan tidak takut tercampur dengan al-Qur’an.
Berdasar data-data di atas, maka dapat kita pahami mengapa penulisan hadis secara keseluruhan tidak selesai masa Nabi dan sahabat. Ada beberapa alasan yang mendukung untuk itu: Pertama, fokus utama pada masa-masa awal Islam adalah mengkaji, menghafal, memahami dan mendalami apa yang tertuang dalam sumber utama, al-Qur’an. Kedua, segala apa yang diajarkan dan disampaikan Nabi kepada para sahabat telah langsung diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan ketika mereka menemukan satu persoalan mereka bisa langsung menyakan dan mendapatkan jawabannya dari Nabi. Ketiga, adanya kekhawatiran tercampurnya tulisan al-Qur’an dengan hadis, karena al-Qur’an sebagai kajian utama. Keempat, secara kuantitas materi hadis relatif jauh lebih banyak dari al-Qur’an, karena tidak saja mencakup qauliyyah Nabi, tetapi juga fi’liyyah, taqririyyah, bahkan sifat khalqiyyah maupun khuluqiyyah Nabi. Terlebih ketika mendapatkan satu realitas bahwa periwayatan hadis bisa dilakukan bil ma’na juga, semakin memperbesar kuantitas materi hadis yang harus ditulis.
Adapun tentang persoalan ketiadaan naskah-naskah awal asli yang ditulis para sahabat yang sampai kepada kita, bukan berarti menggoyahkan keyakinan bahwa mereka pernah menulis hadis Nabi. Ketiadaan naskah tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor: (i) Tulisan hadis tersebut, sengaja dimusnahkan oleh penulisnya karena kekhawatiran tersebarnya periwayatan hadis secara tidak benar. Sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah, “Ayahku (Abu Bakar al-Siddiq) telah menulis hadis sebanyak 500 buah. Pada suatu malam aku melihat ayahku membalik-balikkan badannya. Lalu aku bertanya, ‘Apakah ayah sedang sakit, atau ada suatu laporan yang sampai kepada ayah?. Keesokan harinya beliau memanggilku seraya berkata ‘Wahai puteriku bawalah ke sini tulisan-tulisan hadis yang ada padamu’. Kemudsian kuambilkan tulisan-tulisan hadis itu dan kuberikan kepada beliau. Kemudian beliau membakarnya.” Dalam kasus yang sama, diriwayatkan juga, ketika ada seseorang yang meminta nasehat kepada Ibrahim bin Yazid al-Taimy (w. 92 H), Ibrahim menyatakan “Jangan engkau abadikan riwayat dariku dengan tulisan”, sebelum wafat beliau meminta tulisan-tulisan miliknya dan membakarnya seraya menyatakan “Aku khawatir tulisan-tulisan itun dikuasai orang yang tidak bisa menempatkan pada tempatnya”.
(ii) Banyaknya naskah yang hilang, rusak dan musnah karena rentang masa yang panjang.
(iii) Adanya upaya oral transmission yang dilakukan para periwayat untuk menukil hadis dari catatan tertulis maupun yang tidak dengan metode kutipan yang dapat dipertanggungjawabkan dan komparasi yang selektif. Artinya para periwayat hadis dalam mentransmisikan hadis dengan mengkomparasikan periwayat-periwayat yang lain dan selektif terhadap nara sumber periwayatan.
Jembatan waktu yang kosong antara proses penulisan dan kodifikasi adalah metode referensi atau kutipan yang dipakai. Para ulama telah mengembangkan sistem referensi yang tidak kalah bagusnya dibandingkan dengan metode kutipan yang dikembangkan peneliti modern. Empat metode kutipan yang dipakai diakui secara ilmiah sebagai bukti keabsahan dan kebenaran sumber kutipan, yaitu: (I) Mengutip kata per kata secara langsung, ditulis di antara dua tanda kutip. (ii) Mengutip kata per kata dan menambahkan sisi yang dianggap perlu di antara dua kurung. (iii) Kutipan langsung dengan membuang bagian yang tidak relevan dengan memberi tanda tiga titik. (iv) Kutipan tidak langsung, yakni mengambil intisari atau kandungan maknanya saja. Keempat metode kutipan tersebut dapat kita cermati dalam kitab-kitab hadis.

C. Kodifikasi Hadis secara Resmi
Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
(1) Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
(2) Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
(3) Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadis pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.

IV. Kitab-Kitab Hadis Awal
Semangat ilmiah penulisan dan kodifikasi hadis telah melahirkan berbagai karya yang menghimpun hadis dalam waktu yang berdekatan di wilayah yang berbeda-beda. Namun ada silang pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun kitab hadis dan mensistemasir sedemikian rupa, di antara ulama hadis yang telah berkiprah ialah:
Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah, Malik bin Anas (93-179 H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah, Muhammad ibni Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah, Rabi’ bin Sabih (-160 H), Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah, Sufyan al-Thauri (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid (95-153 H) di Yaman, Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (88-157 H) di Sham, ’Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Hashim ibnu Bushair (104-183 H) di Wasit, Jarir ibn Abdul Hamid (110-188 H) di Rayy, Abdullah ibn Wahb (125-197 H) di Mesir.
Pada awal abad II H, spesifikasi buku, catatan ataupun kitab-kitab hadis yang muncul dapat dikategorikan menjadi dua; (a) berisi catatan hadis an-sich, koleksi acak tanpa sistematisasi bahan (b) berisi hadis yang tercampur dengan keputusan resmi yang diarahkan oleh khalifah, sahabat, atau tabi’in tidak tersistematisasi dan merupakan koleksi acak. Baru pada pertengahan abad II H, mengalami perubahan trend, yang mengarah pada sistematisa isi kitab berdasar tema-tema tertentu, meski materi hadis masih berbaur dengan ucapan-ucapan sahabat maupun pendapat-pendapat tabi’in ( hadith marfu’, mauquf dan maqtu’), masih berbaurnya berbagai hadis dalam kualitas (sahih, hasan, da’if) dalam satu kitab. Di antara kitab-kitab hadis yang lahir abad II H, kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik termasuk kitab tertua yang berhasil ditemukan.
Pada abad III H, kodifikasi hadis mengalami masa keemasan dengan munculnya beragam kitab-khususnya Kutub al-Sittah--dengan beragam metode penyusunan, ada Kitab Jami’, Sahih, Musnad, Sunan, Mustadrak, Mustakhraj, Mustadrak,dsb.. Satu spesifikasi yang kentara terlihat, kitab disusun berdasar permasalahan tertentu yang dibagi menjadi bab-bab dan sub-sub bab; dipisahkan antara hadis marfu’, mauquf dan maqtu; dipisahkan kualitas hadis sahih, hasan dan da’if. Masing-masing kitab memiliki kekhasan yang dimiliki pengarangnya. Oleh karenanya untuk merujuk sebanyak mungkin satu tema hadis tertentu secara komprehensif adalah dengan mempergunakan sebanyak mungkin informasi dari berbagai kitab hadis qualified.

V. Kesimpulan
Meskipun diakui banyak pihak kodiifikasi hadis secara total memiliki rentang waktu yang panjang dengan masa Nabi, namun bukan berarti tidak ada tali pengait yang menjembatani keduanya. Adanya naskah-naskah awal, adanya periwayatan dari kitab tertentu yang dikutip oleh banyak orang dan itu disampaikan kepada generasi berikutnya dengan metode referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dengan metode komparasi antar riwayat, menjadi indikasi dapat terjaganya hadis ke dalam bentuk tulisan. Meski hal ini, tidak berlaku untuk semua hadis dalam kitab hadis. Artinya, walaupun orisinalitas hadis dalam kitab hadis secara umum, bisa diakui, tetapi filterisasi terhadap ‘hadis’ yang diragukan otentitasnya (naqd al-hadi>s|) tetap diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-BaAzami, Muhammad Mustafa. Dira>sat fi> al-Hadis| al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih. Juz I. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980..
----------Metodologi Kritik Hadis. terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Al-Baghdadi, al-Khatib. Taqyid al-’Ilm. Damaskus: t.p., 1949 M.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad al-Imam Ahmad. Juz XII. tahqiq Ahmad Muhammad Shakir. Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Us}u>l al-Hadis ‘Ulu>muh wa Mus}t}alahuh. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Al-Naisaburi, Muslim al-Hajjaj. Sahih Muslim. Juz III. tahqiq Muhammad Fuad al-Baqi. Kairo: Da>r Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, 1956.
Al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Sharaf. Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi. Juz VIII. Mesir: al-Matba’ah al-Misriyyah, 1924.
Rahman, Abdullah ibn ‘Abd. Sunan al-Darimi. Juz I. Damaskus: t.p. 1349 H .
Al-Sijistany, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Jilid II. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.
Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Al-Zahabi, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad. Kitab Tadhkirah al-Huffaz. Juz I. Hyderabad: Dairah al-Ma’arif, 1955.