WACANA

Dalam sebuah pandangan pemikiran

06.14
Diposting oleh Halimatus Sa'dyah

BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah Timbulnya Dinasti-dinasti Kecil di Sekitar Baghdad
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik.
Pada masa periode pertama, banyak tantangan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan mengganggu stabilitas politik muncul dimana-mana, baik dari kalangan intern maupun dari luar yang dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul-betul berada di tangan Khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu, para Khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap Khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah ditambah kelemahan Khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara Profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan, meskipun kejayaan tersebut masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Pilihan Khalifah Al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Ma’mun dan sebelumnya. Bahkan, perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Ma’mun dilatarbelakangi dan diperhebat oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung Al-Amin dan golongan Persia yang mendukung Al-Ma’mun, masuknya unsur Turki dalam pemerintahan Abbasiyah semakin menambah persaingan antar bangsa Al-Mu’tasim dan Khalifah sesudahnya, Al-Watsiq, mampu mengendalikan mereka. Namun, Khalifah Al-Mutawakkil, yang merupakan awal kemunduruan politik Bani Abbas adalah khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah. Sebenarnya, ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa. Wibawa khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki itu lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat, yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintegrasi dalam sejarah politik Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

Dinasti-dinasti yang Memerdekakan Diri dari Baghdad
Akibat dari adanya sebuah kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, kelemahan pada pusat membawa kepada otonomi yang lebih besar di pinggiran dan ini pada gilirannya menghasilkan keterbatasan keuangan di pusat dan kelemahan yang makin meningkat dan akhirnya muncullah pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya: pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya; kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: 1) seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti pedaulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko; 2) Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Kurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal dari abad ke sembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat benar-benar independen. Kekuatan Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan Syu’ubiyah (kebangsaan atau anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan ke dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah :
1. Yang Berbangsa Persia
a. Thahiriyyah di Khorasan (205-259 H / 820-872 M)
b. Shafariyah di Fars (254-290 H / 868-901 M)
c. Sammaniyah di Transoxania (261-389 H / 873-998 M)
d. Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H / 878-930 M)
e. Buwaiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)

2. Yang Berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H / 837-903 M)
b. Ikhsyidiyah di Turkisan (320-560 H / 932-1163 M)
c. Ghaznawiyah di Afganistan (351-585 H / 962-1189 M)
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya :
Bentuk jamak dari salajiqoh sekelompok keluarga kerajaan Turki keturunan dari Seljuk bin Duqaq (tukak) atau lebih dikenal sebagai Bek Seljuk. Bek Seljuk ini berkhidmat dengan tentara Khazar dan kira-kira 950 M. Keluarga Seljuk berhijrah ke kerajaan Khorezmiyah, menetap di Bandar Jend atau Khujand dan akhirnya mereka memeluk agama Islam.
1) Seljuk Besar (Seljuk Iran) atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqrul Bek Ibnu Mikail Ibnu Seljuk bin Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H / 1037-1127 M).
2) Seljuk Kirman di Kirman (433-583 H / 1040-1187 M)
3) Seljuk Syiria atau Syam di Syiri (487-511 H / 1094-1117 M)
4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan (511-590 H / 1117-1194 M)
5) Seljuk Rum atau Asia Kecil di Asia Kecil (470-700 H / 1077-1299 M)

3. Yang Berbangsa Kurdi
a. Al-Barzuqani (348-406 H / 959-1015 M)
b. Abu Alli (380-349 H / 990-1095 M)
c. Ayubiyah (564-648 H / 1167-1250 M)

4. Yang Berbangsa Arab
a. Iddrisiyah di Maroko (172-375 H / 788-985 M)
b. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H / 800-900 M)
c. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H / 825-898 M)
d. Alawiyah di Tabaristan (250-316 H / 864-928 M)
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H / 929-1002 M)
f. Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H / 1011-1150 M)
g. Ukailiyyah di Maushil (386-489 H / 996-1095 M)
h. Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H / 1023-1079 M)

5. Yang Mengaku dirinya sebagai Khilafah
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir
Khalifah Fathimiyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Sungai Nil Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari kekhalifahan Fathimiyah ini adalah gerakan Bani Fathimiyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiiyah, mereka mengasingkan diri ke kota guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan khalifah Al-Ma’mun. Kelompok ini tidak gegabah memperebutkan kursi kekhalifahan. Tetapi mereka terlebih dahulu merebut hati masyarakat dengan gerakan dakwahnya di berbagai daerah sehingga mereka benar-benar dapat menguasai situasi dan mengerti apa yang diinginkan rakyat. Ketidakpuasan rakyat kepada khalifah Abbasiyah Al-Muktafi merupakan angin segar bagi pemuka Fathimiyah dalam merebut hati rakyat di Mesir, akhirnya Mesir dikuasai.



DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT BAGHDAD

Lima tahun setelah berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, Abd Al-Rohman muda satu-satunya keturunan dinasti Umayyah yang luput dari pembantaian masal yang menandai naiknya reim baru, tiba disebelah tempat, jauh di daratan Kordova Spanyol satu tahun kemudian, tahun 756 dia mendirikan dinasti yang kelak akan menjadi dinasti yang besar. Ketika itu propinsi pertamanya yang kelak akan mengungguli kemajuan imperium Abbasiyah masih sedang berkembang, begitu pula propinsi-propinsi lain yang segera menyusul. Kerajaan Idrisiyah di Maroko (788—974) adalah dinasti Syiah pertama dalam sejarah, mereka menghimpun kekuatannya dari kalangan Ber-Ber yang meskipun kaum Suni, mereka siap mendukung perpecahan. Karena terkepung diantara Fatimiyah Mesir dan Umayah Spanyol, dinasti mereka akhirnya hancur oleh serangan mematikan yang dilancarkan oleh seorang jendral utusan Khalifah Al-Hakam II dari Kordova.
A. Dinasti Thulun
Pendiri dinasti Thulun yang berumur pendek (868-905) di Mesir dan Suriah adalah Ahmad Ibn Thulun, ayahnya seorang Turki dari Fraghanah. Pada 817 dipersembahkan oleh penguasa Samaniyah di Bukhara sebagai hadiah untuk Al-Ma’mun pada 868, Ahmad berangkat ke Mesir sebagai pimpinan tentara untuk gubernur Mesir. Disini ia berusaha segera mendapatkan kemerdekaan dirinya, ketika menghadapi tekanan keuangan karena adanya pemberontakan Wangsa Zanj. Khalifah Al-Mu’tamid (870-892) meminta bantuan finansial komandan pasukannya yang seorang Mesir itu, tetapi permintaan ini tidak dipenuhi. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah sejarah kehidupan Mesir selanjutnya. Peristiwa ini juga menandai bangkitnya sebuah negara merdeka di lembah sungai Nil yang kedaulatannya bertahan selama abad pertengahan hingga saat itu, sebagian kekayaan Mesir diberikan ke Baghdad dan sebagian lainnya merasuk disaku para gubernur yang datang silih berganti.

B. Dinasti Iksidiyah
Tidak lama berselang setelah tuntasnya pemberontakan Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Fraghanah, yakni Iksidiyah yang didirikan di Fusthta. Pendiri dinasti ini adalah Muhammad Ibn Thughj (935-946) setelah membereskan kekacauan di Mesir mendapatkan anugrah gelar kebangsawanan ala Iran, Ikhsyid dari Khalifah Al-Radi pada tahun 939. Dua tahun kemudian dinasti Iksidiyah mengikuti langkah Thulun sebelumnya memasukkan wilayah Suriah-Palestina ke dalam negara semi-independen yang dipimpinnya. Tahun berikutnya Mekah dan Madinah juga dimasukkan ke dalam wilayahnya. Selama menerpa abad sejak saat itu, nasib Hijaz, satu wilayah sengketa antara timur dan barat, berada dalam kekuasaan Mesir. Seperti raja-raja lainnya, penguasa Ikhsidiyah terutama sebagai pendiri dinasti, menghabiskan uang negara dengan boros dan berlebihan demi kesenangan orang-orang dekatnya. Diceritakan bahwa jatah harian untuk dapur Muhammad mencakup seratus ekor domba, limaratus unggas, seribu burung dara dan seratus guci gula-gula. Ketika diungkapkan secara puitis kepada Kafur bahwa gempa bumi yang sering terjadi pada masa itu adalah disebabkan tarian hura-hura yang dilakukan bangsa Mesir, orang Abisinia yang yang berbangga hati menghadiahkan uang seribu Dinar kepada penyair yang “Ahli Seismograf” itu. Selama periode kekuasaannya, dinasti Ikhsidiah tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan seni dan sastra di Mesir maupun Suriah. Selain itu, tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan mereka. Refresentasi terakhir dinasti ini adalah seorang anak lelaki berusia sebelas tahun, Abu Al-Fawaris Ahmad, yang pada tahun 969 kehilangan kekuasaan atas negerinya dan menyerah kepada jendral tenar dari dinasti Fatimiyah, Jawhar.

C. Dinasti Hamdaniyah
Ke wilayah utara, Ikhsidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu dinasti Hamdaniyah yang Syiah. Dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia utara dengan Mosul sebagai ibu kotanya (929-991), mereka merupakan keturunan Hamdan Ibnu Hamdun dari suku Taghlib, yang pada 944 menyebar hingga ke Suriah Utara dan dibawah pimpinan Syaib Al-Dawlah (pedang kerajaan) berhasil merebut Aleppo (Halab) dan Hims dari kekuasan Iksidiyah. Suriyah, yang tidak pernah melupakan keagungannya di masa lalu dibawah kekuasannya Umayyah, telah menjadi basis ketidakpuasan dan pemberontakan melawan Rezim Abbasiyah. Syaib Al-Daulah mencapai kemasyurannya dalam sejarah Arab terutama karena perhatian dan sokongannya yang besar dalam bidang pendidikan dan dalam skala yang lebih kecil, karena aksinya membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Kristen setelah sekian lama tidak dilakukan oleh para penguasa muslim. Setelah memapankan posisinya di Suriyah Utara, pedang dinasti Hamdaniyah dimulai pada tahun 947 mulai mengadakan serangan reguler setiap tahun ke Asia Kecil, hingga saat kematiannya dua puluh tahun kemudian, tidak satu tahunpun terlewatkan tanpa peperangan melawan Yunani. Awalnya keberuntungan berpihak pada Sayf. Dia berhasil merebut Mar’asy diantara kota-kota perbatasan lainnya. Tetapi kepemimpinan cemerlang Nicephorus Phocas dan Jhon Tzimisces, yang keduanya kelak menjadi Kaisar, berhasil menyelamatkan Bizantium. Pada tahun 961 Nicephorus berhasil merebut Aleppo, kecuali benteng pertahanannya. Di kota itu ia membunuh tak kurang dari sepuluh ribu pemuda, membinasakan seluruh tawanan dan menghancurkan istana Sayf Al-Dawlah. Pada awal masa kekuasaan Kaisar itu, dua belas ribu orang Banu Habib dari keturunan Nashibin, sepupu-sepupu Hamdaniyah pergi meninggalkan pemukimannya karena beban pajak yang terlalu tinggi, lantas memeluk agama Kristen dan bergabung dengan bangsa Bizantium menyerang kawasan muslim.



DINASTI-DINASTI TIMUR

Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat, proses yang sama telah terjadi di Timur terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia.
Dinasti pertama yang mendirikan sebuah negara yang semi-independen di sebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir Ibn Al-Husain dari Khurasan, yang secara gemilang berhasil memimpin bala tentara rajanya untuk melawan Al-Amin. Dalam perang ini, Thahir Simata Satu itu diceritakan sangat lihai menggunakan pedang dengan kedua tangannya sehingga Al-Ma’mun menjulukinya Dzu Al-Yaminain (Ambideztrous: bertangan kanan dua). Dan seorang penyair menggambarkan sebagai prajurit yang “kekurangan satu mata, tetapi punya dua tangan kanan”. Thohir, seorang keturunan budak Persia, pada tahun 820 diangkat oleh Al-Ma’mun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad, dengan pusat kekuasaannya di Kurasan. Dan dinasti Tahiriyah, meski secara formal para penerus Tahir adalah pengikut Khalifah, mereka memperluas kekuasaannya hingga perbatasan India. Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur dan disitu mereka berkuasa sampai tahun 872 sebelum akhirnya digantikan oleh dinasti Saffariyah.
Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908) didirikan oleh Ya’qub Ibn Al-Laits Al-Shaffar (867-878). Al-Shaffar (tukang tembaga) menjadikan pandai tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilaku yang sopan dan efisien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur Sijistan, yang kelak memberinya kepercayaan untuk memimpin bala tentaranya. Al-Shafar akhirnya menggantikan tuannya itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hampir seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad di bawah khalifah Al-Mu’tamid. Dinasti Samaniyah akhirnya menggantikan kekuasaan dinasti Saffariyah dan mewarisi kekuasaan atas wilayah yang cukup luas.
Keluarga Samaniyah dan Transoxiana dan Persia (874-999) adalah orang-orang keturunan Saman, seorang bangsawan penganut ajaran Zoroaster dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr Ibn Ahmad (874-982), cicit Saman tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara Nashr, Ismail (892-907), yang pada 900 berhasil merebut Kurasan dari genggaman dinasti Saffariyah. Ketika berada di bawah kepemimpinan Nasr II (Ibn Ahmad, 913-943), yang berada di garis keturunan keempat, Samaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para sub-Gubernur muslim di bawah kekuasaan Tahiriyah berhasil memperluas kerajaannya hingga ke batas-batas terjauh, diantaranya kawasan Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi dan Tabaristan, selain Transoxiana dan Kurasan. Kendati Samaniyah tampak setia kepada Abbasiyah dinasti ini sebenarnya indipenden. Di mata khalifah di Baghdad, Samaniyah adalah para Amir (gubernur) atau bahkan Amil (pemungut pajak), tetapi di mata rakyat mereka, kekuasaan mereka sungguh tidak dibantahkan. Kendati merupakan salah satu dinasti Iran yang paling tercerahkan, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan yang terbukti telah menghancurkan dinasti-dinasti lain pada periode yang sama, selain persoalan biasa yang muncul dari pergolakan Arristrokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi pemerintahan, muncul juga ancaman baru, yakni para pengembara Turki yang bergerak menuju utara, bahkan di dalam negara sendiri, kekuasaan berangsur-angsur diambil alih oleh budak-budak Turki, yang justru merupakan golongan yang sering diadili oleh penguasa Samaniyah. Salah satu wilayah Samaniyah, sebelah selatan Oxus, perlahan-lahan dicaplok oleh dinasti Ghaznawi yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak Turki.
Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyah, serta dianugerahi pos penting dalam pemerintahan adalah Alpatigin, yang memulai kariernya sebagai pengawal. Kariernya kemudian meroket menjadi kepala pengawal dan pada tahun 961 dipromosikan menjadi gubernur Kurasan. Tetapi segera setelah itu ia tidak lagi disukai oleh penguasa Samaniyah yang baru hingga akhirnya ia pergi menuju daerah perbatasan sebelah timur kerajaan. Disini, pada tahun 962 dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan penguasa Pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen yang kemudian berkembang menjadi imperium Ghaznawi, yang wilayahnya meliputi Afganistan dan Punjab (962-1186) tetapi pendiri Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin (976-997). Seorang budak dan menantu Alpatigin. Enam belas raja Ghaznawi yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya. Subuktigen memperluas wilayah kekuasaannya hingga meliputi wilayah pesiar di India dan Kurasan di Persia, yang pertama kali ia kuasai ketika masih berada di bawah kekuasaan Samaniyah.
Raja paling terkemuka dari dinasti ini adalah Putra Subuktigin, Mahmud (tahun 999-1030). Ibu kota negara, Ghaznah berada di puncak sebuah bukit tinggi yang dari situ ia bisa memandang jelas seluruh dataran India Utara dan memudahkannya memantau melalui lembah Kabul, memberinya posisi menguntungkan untuk melakukan rangkaian serangan ke sebelah timur. Antara 1001 sampai 1024, Mahmud melakukan tidak kurang dari tujuh belas serangan ke India, yang diantaranya berhasil menduduki kawasan Punjab, dengan pusat kotanya Lahore dari penguasa Multan dan Sind. Di sana ia berhasil menancapkan pengaruh Islam. Dari serangan-serangan ke sejumlah wilayah itu, Mahmud pulang membawa banyak barang rampasan dari Kuil-kuil Hindu. Ia pun mendapatkan penghormatan dan menjadi teladan mengungguli tokoh-tokoh sejamannya. Sebagai pemecah Berhala sekaligus pahlawan besar dari kalangan Islam Ortodok.
Kebangkitan Dinasti Ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama orang Turki dalam perjuangannya melawan kelompok Iran untuk mencapai kekuasaan tertinggi dalam Islam. Meskipun demikian, kekuasaan Ghaznawi sama sekali tidak berbeda dengan kekuasaan Samaniyah dan Saffariyah. Ghaznawi tidak ditopang kuat oleh angkatan bersenjata dan tatkala tangan kuat yang mencengkram pedang telah mundur, maka semuanya menemui kehancuran. Itu pulalah yang terjadi setelah kematian Mahmud. Wilayah-wilayah kekuasaanya di sebelah timur berangsur-angsur memisahkan diri dari ibu kotanya di dataran tinggi dan muncullah sejumlah dinasti muslim independen di India. Di Utara dan Barat ada dinasti Khan dari Turkistan dan dinasti Saljuk dari Persia. Keduanya memisahkan diri dari kekuasan Ghaznawi. Di bagian Tengah, dinasti Ghuriah yang tangguh dari Afghanistan memberontak dan pada tahun 1186 berhasil menghancurkan pijakan Ghaznawi yang terakhir di Lahore.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dinasti-dinasti kecil yang muncul pada masa Daulah Abbasiyah adalah terbagi menjadi :
1. Dinasti berkebangsaan Persia/Mesir
2. Dinasti berkebangsaan Turki
3. Dinasti berkebangsaan Arab
4. Dinasti berkebangsaan Kurdi
Dinasti-dinasti kecil yang muncul pada masa Daulah Abbasiyah di Barat Baghdad dan di Timur Baghdad.
Yang di Barat :
1. Dinasti Thulun
2. Dinasti Iksidiyah
3. Dinasti Hamdaniyah
Yang di Timur :
1. Dinasti Thahiriyah
2. Dinasti Saffariyah
3. Dinasti Samaniyah
4. Dinasti Ghaznawi
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang berada di Timur dan Barat Baghdad dikarenakan beberapa faktor diantara lain :
a. Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesialisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
c. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

DAFTAR PUSTAKA

- Amstrong, Karem. Islam dan Sejarah Singkat (terjemahan A. Short History). Yogyakarta: Jendela. 2005.
- Van, Hoeve. Ensiklopedia Islam. Jilid 1-5. Jakarta: PT Ikhtiar Baru. 2002.
- K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006.
- W. Montgomery, Watt. Kejayaan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1990.
- Yatim, Badry. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.