WACANA

Dalam sebuah pandangan pemikiran

06.13
Diposting oleh Halimatus Sa'dyah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan. Kita lihat, bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum, seperti ”Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila di sini dikatakan bahwa hukum mempunyai perkembangannya tersendiri, maka yang dimaksud terutama adalah, bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara hukum dengan masyarakat. Oleh karena itu, dalam membicarakan hukum sebaiknya kita tidak mengabaikan hal tersebut. Pembicaraan mengenai hukum dengan struktur masyarakatnya pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan mengapa hukum itu menjadi seperti yang kita kenal . Struktur masyarakat ini merupakan kendala, khususnya dalam menyediakan sarana intsitusi sosial yang memungkinkan hukum itu mempunyai bentuknya seperti tampil di hadapan anda.
Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan makalah dalam tema ”Masyarakat dan Hukum, Mana yang lebih dominan?” maka tulisan ini menjabarkan awal munculnya masyarakat dan hukum. Sebagai bukti bahawa masyarakat lebih mendominasi dalam peran maka penulis mengambil tema kecil atau sub point dalam kajian hukum dan stratifikasi sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskaan hukum dan masyarakat dalam dominasi peran!
2. Jelaskan perubahan masyarakat menyebabkan perubahan hukum!
3. Jelaskan fakta penegakan hukum di tengah masyarakat dalam menghadapi stratifikasi sosial!

a. Hukum vs Masyarakat Dalam Dominasi Peran
Keadaan memengaruhi manusia, dan sebaliknya manusia juga memengaruhi keadaan (Karl Max dalam McLellan, 1971:129)
Keluarga adalah bentuk masyarakat yang paling kecil, di dalam keluarga diperlukan adanya aturan-aturan, oleh karena itu di dalamnya harus ada hukum untuk mengatur hak dan kewajiban para anggotanya. Demikian pula di dalam masyarakat yang lebih besar, di dalamnya diperlukan hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan hidup anggota-anggotanya. Keberadaan hukum di dalamnya adalah sebagai peraturan yang bersifat umum di mana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas-batas hak dan kewajibannya, masyarakat sebagai suatu sistem pergaulan hidup manusia, pasti memiliki sistem walaupun dalam bentuk sederhana .
Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan, maksudnya semula masyarakat sederhana kemudian menjadi semakin kompleks. Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi dengan timbulnya hukum yang dalam perkembangan pula. Dalam kondisi seperti ini berarti perkembangan kehidupan masyarakat diikuti perkembangan hukum yang berlaku di dalamnya.
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan politik, ekonomi, dan kultur. Di tingkat mikro terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kesatuan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda. Seperti dinyatakan Edward Shils yang dikutip dari bukunya Piotr Sztompka : masyarakat adalah fenomena antar waktu. Masyarakat menjelma bukan karena keberadaannya di satu saat dalam perjalanan waktu. Tetapi ia hanya ada dalam waktu. Ia adalah jelmaan waktu
Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit dan potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab-akibat dengan fase kini merupakan persyaratan sebab-akibat yang menentukan fase berikutnya .
Kehidupan sosial diatur oleh aturan. Norma, nilai dan institusi yang mengatur perilaku manusia, oleh sejumlah pakar dianggap sebagai aspek sentral masyarakat. Bila membicarakan perubahan dalam masyarakat dan pencapaian tujuan hukum berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaiannya tujuannya. Oleh karena itu, objek pembahasan berfokus An Engineering Interpretation atau interpretasi terhadap adanya perubahan norma hukum sehingga fungsi hukum sebagai social control dan social engineering dapat terwujud .
Kehidupan masyarakat diliputi beberapa norma/kaidah. Norma-norma tersebut terdiri dari : Norma Hukum, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama. Keseluruhan norma-norma tersebut berlaku pada tiap masyarakat, akan tetapi titik berat berlakunya berbeda-beda. Sebagian masyarakat lebih menghormati norma hukum dibanding norma-norma lainya. Akan tetapi, dalam masyarakat tertentu, justru sebaliknya. Di samping itu sering terjadi keseluruhan norma tersebut berlaku bersama-sama dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang. (1) Norma kesopanan
Tata aturan yang hidup di dalam pergaulan sekelompok manusia, mengatur tingkah laku manusia di dalam lingkungannya. (2) Norma Kesusilaan
Hati sanubari (insan Kamil) manusia menjadi sumber norma kesusilaan. Agar manusia menjadi makhluk sempurna maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan yang bersumber dari hati sanubari.(30 Norma Agama Peraturan-perturan yang berisi perintah, larangan dan anjuran yang datangnya dari Tuhan YME. Para pemeluk agama memandang bahwa peraturan-peraturan tadi berasal dari Tuhan sebagai penuntun hidup
Jika norma yang satu memerintah perilaku tertentu dan norma yang lain menetapkan sanksi sebagai reaksi atas ketidakpatuhan, maka kedua norma itu terikat satu sama lain.ini terutama terjadi jika sebuah tatanan sosial sebagai tatanan hukum memerintahkan perilaku tertentu khususnya dengan menerapkan tindakan paksa sebagai sanksi atas perilaku sebaliknya .
Roscoe Pound (selanjutnya disebut Pound) mengemukakan dalam bukunya Interpretation of Legal History, yang saya kutip dari buku Sosiologi Hukum Prof. Zainuddin, bahwa law must be stable and yet it cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu ”dinamis” dengan menelusuri niali-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat pada setiap waktu dan tempat. Kedinamisan hukum yang demikian, membuat Pound berasumsi bahwa hukum itu relatif. Yang dimaksudkan relatif di sini adala berubah sesuai dengan waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Namun, hukum memiliki sifat universalitas karena adanya hanya ada satu ide dari hukum, yaitu keadilan (keseimbangan) .

B. Interaksi Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum

Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan seperti dua sisi keping mata uang. Interaksi tersebut membaca konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Paradigma pertama, disebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan perturan perundang-undangan yang baru, misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal .
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara.
Paradigma pertama ini dalam interaksi perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi, sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian dipikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi. Esensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan akan muncul .
Paradigma kedua, disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang, misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional, misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

C. Hukum vs Stratifikasi Sosial dalam Penegakannya

Startifikasi sosial merupakan keadaan penduduk yang berbeda dalam tingkatannya. Dan stratifikasi adalah pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal dari kehidupan sosial yang berdasarkan pendistribusian yang tidak seimbang seperti sandang pangan dan tempat tinggal. Pengelompokan startifikasi sosial seringkali didasari pada kekayaan, kehormatan, dan mungkin pengetahuan. Jadi, ketika berbicara tentang stratifikasi sosial, biasanya akan lebih banyak mengkaji ikhwal posisi yang tidak sederajat antar-orang atau kelompok dalam masyarakat. Dan stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial .
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar kecilnya penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial saat ini adalah; dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial) dan politik (penguasa dan yang dikuasai). Menurut Jeffris dan ransford 1980 di dalam masyarakat pada dasarnya bisa dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu; 1. Hierarki kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa. 2. Hierarki kekuasaan, yang didasarkan pada kekuasaan. 3. Hierarki status, yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial .
Marx mengatakan bahwa ”manusia menentukan sejarahnya sendiri, meskipun ia memaksa diri melawan kodratnya dalam usahanya mengatasi proses itu, dan oleh karena hal itu mengapa sampai sekarang sejak dahulu kala, masyarakat adalah perjuangan kelas. Perjuangan kelas merupakan masalah sentral dalam memahami perubahan sosial, dia mengklaim bahwa semua kelas akan berkurang menjadi perjuangan kelas” , dan penulis menambahkan: demi mencapai ’kelas atas’ dalam stratifikasi sosial yang istilah jawanya kere munggah bale.
Dalam stratifikasi sosial ini pada akhirnya mempengaruhi peran hukum dalam proses penegakannya. Karena hal ini dipengaruhi oleh status sosial dalam masyarakat tersebut, semakin rendah status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin banyak perangkat hukum yang mengaturnya. Dan semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, semakin sedikit perangkat hukum yang mengaturnya . Masalahnya adalah keadaan seperti itu sangat bertentangan dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status dan sebagainya (persamaan di depan hukum) yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum.
Dalam praktiknya, kesenjangan atas berlakunya suatu kekuatan hukum dalam menindak perkara yang dilakukan oleh masyarakat dalam strata sosial yang berbeda, dapat dilihat dalam berbagai kasus. Dalam kaitan ini dicontohkan dengan ketika seorang hakim harus mengadili tiga orang pencuri ayam, dengan tiga kasus yang berbeda, yaitu korbannya berbeda dan waktu serta lokasi pencuriannya pun berbeda, maka dikatakan secara normatif, peraturan hukumnya persis sama, yaitu semuanya harus mengacu pada ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang unsur tindak pidananya terdiri dari: ”setiap orang yang mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk menguasai atau seolah-olah memiliki (karena tidak mungkin si pencuri memiliki legal hasil curiannya) dan dengan cara melawan hukum”. Namun secara sosiologis, aplikasi Pasal 362 KUH Pidana tersebut tidak mungkin persis sama. Misalnya, fakta yang terungkap di persidangan pengadilan :
1) Pencuri pertama, mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep anaknya yang sedang sakit keras, yang jika resep itu tidak tertebus maka anaknya kemungkinan besar akan meninggal dunia;
2) Pencuri kedua, mencuri ayam dengan motif untuk memperoleh uang untuk bisa bermalam minggu dengan pacarnya;
3) Pencuri ketiga, mencuri ayam dengan motif membeli narkoba.
Dalam penentuan keputusan perkara tersebut jika seorang hakim itu baik, maka tidak mungkin menjatuhkan vonis yang persis sama kepada tiga pencuri tersebut. Kemungkinan hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal ancaman pidana untuk pencurian terhadap pencuri ketiga yang mencuri karena untuk membeli narkoba, dengan pidana sedang untuk pencuri kedua yang mencuri demi dapat bermalam minggu dengan pacar dan dapat dijatuhkan pidana percobaan saja, untuk pencuri pertama yang mencuri demi dapat menebus resep maka dapat dibebaskan . Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pencuri ketiga (yang mencuri dengan motif membeli narkoba) adalah putra pejabat? Akankan mendapatkan ancaman maksimal ataukah bebas dengan tebusan?
Pada kasus diatas, bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak diatur secara ketat oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFevre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit) .
Dalam pandangan masyarakat yang berada dalam satus sosial yang berbeda ini memberikan gambaran singkat tentang bagaimana hukum melegitimasi, dan secara paksa mendukung, sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Di sini, lagi-lagi ”kemiskinan kekuasaanlah yang menyebabkan represif. Semakin lemah sumber daya tatanan politik, dalih ”penjagaan perdamaian” akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo. Pemegang kedaulatan awal meminjam kekuasaan dari mereka yang kuat, sehingga mendukung hirarki hak-hak istimewa. Institusi-institusi politik yang lahir kemudian tetap terdistorsi oleh partisipasi yang tidak seimbang dari mereka yang berkuasa dan mereka yang lemah .
Donald Black yang dikutip dari buku khudzaifah Dimyati menyatakan bahwa gaya hukum yang berfariasi menurut arahnya dalam hubungan dengan stratifikasi, maka hukum yang bersifat pidana bergerak ke bawah (dalam stratifikasi), sedangkan yang bersifat teraputis bergerak ke atas dan bersifat konsiliatoris berlaku yang antara orang-orang yang sama kedudukannya. Dalam hubungannya dengan morfologi, maka hukum cenderung bersifat akusator, apabila berlaku antara orang-orang yang sangat mengenal, namun bersifat teraputis atau konsiliatoris, jika berlaku sesamanya. Orang-orang yang tidak terorganisasikan lebih mudah terkena hukum pidana, sedangkan orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang baik dapat mengandalkan diri pada hukum kompensator .
Derrida dalam Positions (1981)mengungkapkan bahwa sejak kekerasan dalam hukum selalu terlupakan oleh perjalanan waktu dan tersembunyikan oleh berbagai fiksi tentang moralitas penegak hukum. Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya kekerasan dan diskriminasi yang diproduksi oleh berbagai produk hukum dan menganggapnya sebagai keharusan moral dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh tindakan penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar .
Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa sebenarnya keberadaan hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Akan tetapi dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya, ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. .
Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukannya dukungan kekuasaan, masyarakat tipe ini dapat dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Sehingga konsep law as a tool of social engineering-nya Roscoe Pound yang merupakan inti dari pemikiran aliran Pragmatic Legal Realism dapat diterapkan, dan hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum yang memenuhi kebutuhan atau disebut hukum responsif . Sayangnya, di Indonesia yang menonjol adalah perundang-undangan yang lahir atas konspirasi politik kekuasaan saja tanpa sepenuhnya berdasar pada kebutuhan masyarakat, sehingga aliran positivisme hukum sangat kental di negara kita, yurisprudensi berperan namun tidak seberapa. Bias yang dirasakan oleh masyarakat adalah mudahnya menjerat pencuri kakao semangka atau pisang daripada menjerat seorang pejabat negara yang pencuri uang negara berjumlah milyaran rupiah. Ironis bukan?









REORIENTASI BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT






























DAFTAR PUSTAKA


1. Ali Ahmad, Prof. Dr. Menguak Teori Hukum danTeori Peradilan termasuk Interpretasi Undang-Undang, Kencana Prenada group, jakarta, 2009
2. Ali Saifulloh Dr. M.Hum. Refleksi Sosiologi Hukum Refika aditama,Bnadung, 2007,hal 43
3. Ali Zainuddin Prof. Dr. Sosiologi Hukum Sinar Grafika, Jakarta, 2005
4. Dimyati Khudzaifah Dr., Teorisasi Hukum,Muhammadiyah Unv Press, Surakarta, 2004
5. Narwoko. J Dwi & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana, Jakarta, 2004, hal 152
6. Nonet Philippe & philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung 2008 hal 49-51
7. Rasjidi Lili Prof. LL.M. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya bakti, Bandung, 2004, hal 75
8. Rahardjo Satjipto Prof. Ilmu Hukum, Citra Adtya Bhakti, Bandung,2000
9. Soekanto Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
10. __________________ M.H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, jakarta, 1993
11. Sudarsono. DRS. S.H. Pengantar Ilmu Hukum, rineka Cipta, Jakarta, 1995Hal 45
12. Sztompka Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta, 2004






HUKUM DAN MASYARAKAT




Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Sosiologi Hukum


Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Sudarsono SH,