WACANA

Dalam sebuah pandangan pemikiran

06.39

Al Farabi & Ibnu Sina

Diposting oleh Halimatus Sa'dyah

BAB I
A. AL-FARABI
1. Riwayat hidup al-farabi dan karya – karyanya.
Al-farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh, yang biasa disingkat saja menjadi al-farabi. Ia dilahirkan Diwasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya seorang jenderal tentara Persia dan ibunya berkebangsaan Turki, sesuai ajaran Islam yang mendasarkan keturunan pada ayah lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Menurut beberapa literatur, al-farabi diusia 40 tahun pergi ke Baghdad. Sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia kala itu. Disana ia belajar bahasa arab kepada Abu Bakar Saraj dan belajar logika dan filsafat pada Abu Bishr Matta Ibnu Yunus seorang penterjemah kristen. Dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Dari Baghdad al-farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di asia kecil. Disini ia berguru dengan Yohana Ibn Hailan , namun tidak lama kemudian ia meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota Baghdad. Disini kembali mendalami filsafat, selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang dan mengulas buku – buku filsafat.
Pada tahun 330 H / 942 M ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al Daulah Al Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo . Sultan nampaknya terkesan dengan keintelektualan al-farabi. Lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan diberinya kedudukan yang baik. Dan pada umur 80 tahun ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Damaskus.
Sebagaimana filososf Yunani, al-farabi menguasai beberapa disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena ini didukung oleh ketekunan dan kerajinan serta ketajaman otaknya. Ia memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga filsafat yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusdy banyak mengambil dan mengupas filsafatnya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya tapi belum dipahaminya. Barulah Ibnu Sina memahami benar filsafat aristoteles setelah membaca buku al-farabi, Tahqiq Ghardh Aristhufi kitab Ba’da Al-Thabiah yang menjelaskan dan maksud metafisika aristoteles.
Al-farabi benar – benar memahami filsafat aristoteles yang dijuluki Al-Mu’allim Al-Awwal (guru pertama) sehingga dalam dunia intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan Al-Mu’allim Al-Tsany (guru kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir terbaik dari logika aristoteles. Sebagai contoh ulasan al-farabi terhadap karya aristoteles adalah masalah burhan (adil), ibarat (keterangan), khutbah (cara berpidato), al-jadal (argumentasi), qiyas (analogi), mantiq (logika), selain itu juga memberi ulasan terhadap karya plotinus adalah kitab Al-Majesi Fi Ihnil Falaq, juga terhadap Iskandar Al-Faudismy tentang masalah Fin-Nafsi.
Berdasarkan karya tulisnya, filososf muslim keturunan persia ini, menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa dan lain – lain. Adapun karya nyata dari al-farabi adalah :
a. Al-Jami’u Ra’yai Al-Hakimain Afalatoni Wa Aristho-Thails (pertemuan / penggabungan pendapat antara plato dan aristoteles.)
b. Tahsillu As Sa’adah (mencari kebahagiaan)
c. As Suyasatu Al Madinah (poolitik pemerintahan)
d. Fusulu Al-Taram (hakikat kebenaran)
e. Arro’u Ahli Al Madinah Al Fadilah (pemikiran – pemikiran utama pemerintahan)
f. As Syiyasah (ilmu politik)
g. Fi Ma’ani Al-Aqlli
h. Ihso’u Al-Ulum (kumpulan berbagai ilmu)
i. At Tangibu Ala As Sa’adah
j. Isbatu Al Mufaradat
k. Al Ta’liqat
Sedangkan dalam buku Osman Bakar dalam judul Hierarki ilmu, karya-karya Al-farabi antara lain :
1. Risalah Shudira Biha al-Kitab (Risalah yang dengannya kitab berawal)
2. risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘anha (risalah atas jawaban yang diajukan dengan-Nya)
3. Syarh Kitab al-Sama’ Al-Thabi’i li Arustitalis (komentar atas Fisika Aristotles)
4. Syarh Kitab al-Sma’ wa al-alam li aristutalis(Bahasan atas kitab arisrtotles tentang langit dan alam raya)
5. Fushusul Hikam, kitab bidang metafisika (permata kebijaksanaan)
6. Kitab Fil wahid wal wahdah (kitab tentang yang satu dan yang esa)
7. Ar’a ahlul Madinah( opini tentang penghuni Kota Ideal), politik
8. Siyasat Al-Madinah (tentang pemerintahan negara kota)
9. Al-Millat al-Fadhillah (tentang komunitas utama)
10. Ihsa’ ul Ulum (tentang pembagian Ilmu)
2. Filsafat al-farabi
Al-farabi mendefinisikan filsafat adalah Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat yang berarti suatu ilmu yang menyelidki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Ia berhasil meletakkan dasar – dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat tidak ada pertentangan antara filsafat plato dan aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka satu dalam tujuanya.
Memahami atas pemikiran al-farabi di atas, seolah – olah filsafatnya adalah perpaduan dari filsafat aristoteles dan plato. Dalam masalah ini alam al-farabi sependapat dengan aliran plato bahwa alam ini baharu, persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta dengan makhluknya al-farabi setuju atas teori Emanasi Neo Paltonisme, lebih jauh al-farabi merinci lagi teori emanasi enggan istilah Nadhariyatul Faidl, dengan pemikirannya dan uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang mantiq dan fisika sependapat dengan alur aristoteles.
Selain itu, al-farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya para filosof muslim meyakini al-Qur’an dan Hadist adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Ia tegaskan bahwa antara keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama – sama dari akal aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya. Filsafat memikirkan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran.
Selanjutnya kita akan membahas tentang beberapa filsafat al-Farabi adapun pemikirannya sebagai berikut :
a. Filsafat Ketuhanan
Al-farabi dalam membahas ketuhanan menggunakan pemikiran aristoteles dan neo platonisme yakni Al Maujud Al Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan konsep keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam.
Sebelum membicarakan hakikat Tuhan dan sifatnya ia lebih dahulu memberikan wujud yang ada kepada dua bagian :
1. Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya (Wajibul Wujud Lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya atidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata karena matahri. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan) karena segala yang mumkin harus berakhir pada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada.
2. Wujud yang nyata dengan sendirinya (Wajibul Wujud Lidzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama kali bagi semua wujud yaitu (Tuhan).
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Tuhan itu maha esa, tidak terbatas dalam segala sesuatu, bila ada hal – hal yang membatasi berarti Tuhan tidak esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan yang akan memberi pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian dzat dan bentuk.
Tentang sifat – sifat Allah al-farabi sejalan pendapatnya dengan mu’tazilah yakni sifat Allah tidak berbeda dengan dzat-nya (subtansi-Nya), sebaliknya bila sifat – sifat Allah itu berbeda dengan substansi-Nya atau diberi sifat yang wujud tersendiri dan kemudian meletakkan kepada dzat Allah, tentu saja sifat itu qodim pula sebagaimana substansi-Nya bersifat qodim. Hal ini membawa paham Ta’adud Al-Qudama’ (berbilangnya yang qadim).
Bagi al-farabi Tuhan adalah ‘aql murni. Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya saja. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah ‘aql, ‘aqil, manqul (akal, substansi yang berfikir, dn substansi yang dipikirkan).
Sebagaimana para filsuf muslim pada umumnya, al-farabi juga mengemukakan ayat – ayat al-qur’an dalam rangka mensucikan Tuhan dari sifat – sifat diantaranya :

سبحا ن ربك رب العزة عما يصفون (الصفا ت : ١٨)

“Maha suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan (QS. Al-shafat : 180).”
b. Filsafat Al Faidh (Emanasi)
Emanasi (Inggris:emanation, Latin; e (dari) manare (mengalir)) adalah doktrin mengenai terjadinya dunia. Dunia terjadi karena dan oleh proses dimana yang ilahi melelh. Sebuah alternatif doktrin penciptaan. Kensep emanasi menghubungkan tata kekal dan tata sementara, biasanya melalui tahap-tahap antara. Di Barat, Gnostisisme dan neoplatonisme merupakan filsafat emanasionistik. Filsafat-filsafat panteistik condong ke arah ini. Dalam filsafat hindu juga terdapat ide-ide serupa .
Al-farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari yang esa (Allah) jauh dari arti materi dan maha sempurna. Dalam filsafat yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan pengertian pertama (prime cause), seperti yang dikemukakan aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (al mutakallim), Allah adalah pencipta. Untuk mengislamkan doktrin ini, al-farabi mencari bantuan pada doktrin neo platonis tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran.
Akan tetapi al-Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah, dimana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan. Karena Tuhan mengethaui dzat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya. Jadi sebab ilmunya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya. Bagi Tuhan dengan mengetahui dzat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud.
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi tersebut ? seperti halnya dengan plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu esa sama sekali. Karena itu, yang keluar dari-Nya juga satu, wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap dzat-Nya yang satu. Jelasnya proses emanasi itu sebagai berikut :
Tuhan sebagai akal berfikir tentang dirinya dan dari pemikiranya ini timbul suatu wujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al-wujud al-awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (al-wujud al-tsany) yang juga mempunyai substansi, ia disebut akal pertama (al ‘aql al-awwal) yang bersifat materi (Jauhar Ghoiru Mutajasim Ashlan Wala Fi Maddah). Wujud kedua ini berfikir tentag wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (Al Wujud Al Thalits) disebut akal kedua. Wujud kedua atau akal pertama itu juga berfikir tentang dirinya dna dari situ timbullah langit pertama. Kemudian
Wujud III / akal kedua ________ Tuhan = wujud IV/akal ketiga
________ dirinya = bintang–bintang
Wujud IV / akal ketiga ________ Tuhan = wujud v/akal keempat
________ dirinya = saturnus
Wujud V / akal keempat ________ Tuhan = wujud VI/akal kelima
________ dirinya = jupiter
Wujud VI / akal kelima ________ Tuhan = wujud VII/akal keenam
_________ Dirinya = mars
Wujud VII/akal keenam _________ Tuhan = wujud VIII/akal ketujuh
_________ Dirinya = matahari
Wujud VIII/akal ketujuh _________ Tuhan = IX/akal kedelapan
_________ dirinya = venus
Wujud IX/akal kedelapan _________ Tuhan=wujud X/akal kesembilan
_________ dirinya = mercuri
Wujud X/akal kesepuluh _________ Tuhan=wujud XI/akal kesepuluh
Dirinya = bulan.
Pada pemikiranb wujud XI / akal kesepuluh berhenti terjadinya atau timbulnya akal – akal. Tetapi akal kesepuluh muncullah bumi beserta roh – roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air, dan tanah.
Mengapa jumlah akal dibatasi kepada bilangan sepuluh ? Hal ini disesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan dimana untuk tiap tiap akal diperlukan satu planet, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut sembilan ? karena jumlah benda – benda angkasa menurut aristoteles ada tujuh. Kemudian al-farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh dan bintang – bintang tetap yang diambil dari ptolomey seorang ahli astronomi dan ahli bumi mesir yang hidup pada pertengahan abad ke-2 masehi.
c. Filsafat Jiwa (Al-Nafs)
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Kesatuan antar jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan biasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiwah, yang berasal dari alam ilahi sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi al-farabi jiwa manusia mempunyai daya – daya sebagai berikut :
a. Daya Al-Muharrikat (gerak), daya ini mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang
b. Daya Al-Mudrikat (mengetahui) daya ini mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c. Daya Al-Nathiqah (berpikir) daya ini mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan :
1. Akal potensial (Al-Hayulany) ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti : melepaskan arti – arti atau bentuk – bentuk dari materinya.
2. Akal aktual (Al-‘Aql Bi Al-Fi’l) akal yang telah dapat melepaskan arti – arti dari materinya dan arti – arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi telah dalam bentuk aktual.
3. Akal mustafad (Al-‘Aql Al-Mustafad) akal yang telah dapat menangkap bentuk semata – mata tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal sepuluh.
Mengenai keabadian jiwa, al-farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa kholidah adalah jiwa fadilah. Yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya jasad. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa yang telah berada pada tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak mencapai kesempurnaan. Sebelum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan.
d. Filsafat Kenabian
Adapun teori kenabian yang diajukan al-farabi di motivasi pemikiran filosof pada masanya yang menginginkan eksistensi oleh Ahmad Ibnu Ishak Al-Ruwandi (w. Akhir abad ke - III) berkebangsaan yahudi dan Abu Bakar Ibn Zakaria Al-Razi. Secara ringkas keduanya menyatakan bahwa Nabi – Nabi tidak berhak mengakui dirinya sebagai orang – orang yang mempunyai kelebihan – kelebihan khusus baik pikiran maupun rohani. Karena semua orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmahnya, mengharuskan tidak dibedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya mereka mengatakan bahwa rosul itu sebenarnya tidak dibutuhkan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia agar mereka dapat membedakan antara baik dan buruk dan petunjuk akal semata – mata sudah mencukupi.
Dalam suasana yang demikian al-farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut, apalagi ia segenerasi dengannya. Menurut al-farabi manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (jibril) melalui dua cara yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi. Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat menembus cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi, perbedaan antara keduanya hanya pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya.
Jadi ciri khas seorang Nabi oleh al-farabi telah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan akal fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran – kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui akal fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah jibril. Dapatnya Nabi berhubungan dengan akal fa’al tanpa latihan tetapi atas pemberian dari Tuhan. Seorang Nabi dianugrahi oleh Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal fa’al. Akal ini mempunyai kekuatan suci dan diberi nama hads. Sedangkan filosof dapat mengadakan komunikasi itu atas usaha sendiri yaitu dengan latihan dan kontemplasi. Seorang filosof hanya mempunyai akal mustafad lebih rendah dari para Nabi yang mempunyai akal materi. Dengan demikian dapat dikatakan, filosof tidak sejajar tingkatannya dengan Nabi, karena setiap Nabi itu adalah filosof tetapi tidak setiap filosof itu belum tentu Nabi karena adanya unsur pilihan Allah.
Karena Nabi dan filosof sama – sama dapat berhubungan dengan akal fa’al maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan dengan hukum alam, karena sumber hukum alam dan mu’jizat sama – sama berasal dari akal fa’al yang mengatur dunia ini.
B. IBNU SINA
1. Riwayat hidup ibnu sina dan karya – karyanya
Nama lengkapnya Ali Al Husein Ibn Abdullah Aibn Al-Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah dekat Bukhara, Tranxosiana (Persia Utara) pada 370 h (980 m). Di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Avicenna. Kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau. Dimana kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri – negeri yang berada di bawah kekuasaannya mulai melepaskan diri. Dan kota Baghdad sebagai kota pemerintahannya dikuasai oleh Bani Buwaihi pada tahun 334 sampai 447 H.
Ketika belum mencapai umur 6 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran. Pada waktu Nuh Bin Mansur penguasa Bukhara menderita sakit dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati maka setelah diperiksa oleh ibnu sina kholifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat. Pada waktu usianya mencapai 22 tahun ayahnya meninggal kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan dan dari sini ia pergi ke Charazn. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang tetapi karena kekacauan politik ia tidak lama tinggal di situ.
Kemudian ia hidupnya berpindah – pindah dari satu tempat ketempat lain. Hingga sampai ke Hamdan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaullah untuk beberapa kali. Meskipun disini ia pernah dipenjarakan. Sesudah itu ia pergi ke Isfahan di bawah penguasa Ala Abddaulah, ia disambut baik olehnya. Namun pada akhirnya kehidupannya ia kembali ke Hamadan ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 h (1037 m) pada usia 57 tahun.
Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang dimilikinya, menyebabkan ia mampu untuk menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dan aktivitas politik, mengajar dan mengarang. Karyanya tidak kurang dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Adapun karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah :
a. Al-Shifa’ berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian, ketuhanan, fisika, matematika dan logika.
b. Al-Najat, berisikan ringkasan dari kitab al-Shifa’. Karya ini ditujukan untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar – dasar ilmu hikmah secara lengkap.
c. Al-Qonun Fi Al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas 5 kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis – jenis penyakit dan lainnya.
d. Al-Isyarat Wa Al-Tanbiyat isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.
2. Filsafat ajarannya
a. Filsafat emanasi
Ibnu Sina sebagaimana al-farabi menemukan kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak, yang bersifat materi (alam) dari yang esa, jauh dari arti banyak jauh dari materi, maha sempurna. Untuk itu memecahkan masalah ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ketika Allah (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (berta’qul) terhadap dzat-Nya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarkan akal I. Dari akal I ini memancarkan akal II, jiwa I dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok, air, udara, api dan tanah.
Berlainan dengan al-farabi, bagi ibnu sina akal pertama mempunyai dua sifat, sifat yang wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal – akal menjadi tiga : Allah (wajib al-wujud lidzatihi, dirinya akal – akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari segi hakikat dirinya.
Emanasi ibnu sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal mengurusi sembilan palnet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya, Al-farabi Ibnu Sina masing – masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet. Sebagaimana al-farabi, ibnu sina juga memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak – mutlaknya. Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini akan merusak citra tauhid.
b. Filsafat jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalam Al-qur’an dan hadits diartikan dengan an-nafs atau al-ruh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa dibagi menjadi dua bagian :
 Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuhan, hewan dan manusia
 Jiwa tumbuhan mempunyai tiga daya : makan, tumbuh dan berkembang.
 Jiwa binatang mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharik) dan menangkap (al-mudrikat) daya yang terakhir ini dibagi menjadi dua bagian :
1. Menangkap dari luar (Al-Mudrikat Min Al-Kharij) dengan panca indera.
2. Menangkap dari dalam (Al-Mudrikat Min Al-Dakhil) dengan indra batin yang terdiri atas :
a. Indra bersama (al-ihssa al-musytarak) yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indera luar.
b. Indra al-khayyal yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama
c. Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayal
d. Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat menangkap hal – hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
e. Indra pemeliharaan (rekoteksi) yang meyimpan hal – hal yang astrak yang diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh – tumbuhan.
 Jiwa manusia yang disebut juga an-nafs al-natiqat, mempunyai dua daya praktis dan teoritis. Daya praktis berhubungan dengan jasad sedangkan daya teoritis berhubungan dengan hal – hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan yaitu :
i. Akal materiil (al-‘aql al-hayulani) yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii. Akal al-malakat (al ‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
iii. Akal actual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berpikir tentang hal – hal abstrak
iv. Akal mustafad (al-‘aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal – hal abstrak tanpa perlu pada daya upaya ; akal yang telah terlatih begitu rupa sehingga hal – hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
 Metafisika, membicarakan tentang hal – hal wujud jiwa, hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa. Hanya metafisika yang akan dibicarakan berikut ini mengenai wujud jiwa. Dalam pemikiran adanya jiwa ibnu sina mengemukakan 4 dalil.
1. Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan gerak.
2. Konsep aku dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang di maksud pada hakikatnya adalah jiwanya, bukan jisimnya.
3. Dalil kontinuitas
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dengan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun kedepan. Sementara jiwa, bersifat kontinu tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa yang sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan.
4. Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan, meskipun dasarnya bersifat asumsi namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan.
Diandaikan ada seorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan diudara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya terpisah – pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa – apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya. Tetapi semua organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan sumber lain yang berbeda dengan jasad yakni jiwa.
c. Filsafat kenabian
Semua nabi, Musa, ‘Isa dan Muhammad telah mencapai taraf luhur disebabkan oleh kepintarannya unuk menuangkan pengetahuan istimewa dalam bentuk kiasan, khatabdan imajinasi hidup-hidup, semisal aqal fa’al Jibril; penyinaran aleh aqal fa’al nuzul Qur’an; kesatuan kembali dengan Nan Awwal miraj dan surga; halangan untuk mencapai neraka dst. Berkat daya akal, jadi bukan sebagai utusan Alloh. Kelebihan muhammad disebabkan oleh kepintaraanya untuk menuangkan Pendapat ibnu sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materiil (‘aql al-hayulani) sebagai yang terendah adakalanya dianugrahkan Tuhan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, oleh ibnu sina dinamakan hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal meteriil serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai (Quah Qudsiyah) yaitu bersifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia yaitu pada Nabi.
Nabi Muhammad memiliki syarat – syarat yang dibutuhkan oleh seorang Nabi yaitu mempunyai imajinasi yang kuat dan hidup. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh al-farabi dan ibnu sina, tetapi oleh ibnu sina hal ini lebih dirinci lagi. Merupakan sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan pemikiran – pemikiran kita dan bahkan keterbatasan psikologis kita. Pelambangan dan pemberian sugesti ini apabila berlaku pada jiwa dan akal Nabi menimbulkan imajinasi yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh Nabi, ia benar – benar mendengar dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malikat dan “mendengar” suaranya.





BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
A. AL-FARABI
1. Al-farabi adalah filosof muslim yang benar – benar memahami filsafat aristoteles (guru pertama) sehingga dia dijuluki al mu’allim al-tsany (guru kedua).
2. Al-farabi memiliki beberapa karya baik dalam bidang matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa dan lain – lain.
3. Al-farabi membuktikan bahwa agama dan filsafat tidak ada bertentangan. Adapun filsafatnya antara lain metafisika, , emanasi, pengetahuan dan negara.

B. IBNU SINA
1. Ibnu sina adalah salah satu seorang filoof muslim yang mempunyai kemampuan yang mahir tentang masalah kedokteran, hal ini terbukti ketika beliau berhasil menyembuhkan kholifah nur bin mansur yang tidak ada seorang pun yang dapat menyembuhkkannya pada waktu itu.
2. Adapun hasil karya ibnu sina sangat banyak sekali, baik dalam bidang filsafat maupun dalam bidang yang lain.
3. Mengenai beberapa filsafatnya diantaranya :
- Metafisik
- Ketuhanan
- Emanasi
- Pengetahuan dan Ilmu Jiwa
- Mistik



DAFTAR PUSTAKA

1. Mustafa. A, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997.
2. Khudhori Sholeh, A. M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2204.
3. Nasution, Harun, Falsafat dan mitisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
4. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999
5. Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : Abdi Mahasatya, 2004
6. Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Raja Grafindo, 2004.
7. Yusran, Asmuni, Drs. H M. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta, LSIK, Raja Grafindo persada, 1998
8. K. Dwi Susilo, Rahmad, Integrasi Ilmu sosial: Upaya Integrasi Ilu Sosial Tiga Peradaban, Jogjakarta, Ar-Ruzz 2005
9. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2005
10. Bakker SY JWM, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta, Kanisius, hal 49