WACANA

Dalam sebuah pandangan pemikiran

06.24

Aliran-aliran Teori Hukum

Diposting oleh Halimatus Sa'dyah

A. Latar Belakang
Proses mempelajari teori hukum biasanya dilakukan terutama setelah seseorang yang mempelajari ilmu hukum secara umum selesai mempelajari hukum positif, sehingga kerangka teori hukum dapat tergambarkan secara jelas dalam proses tersebut . Proses memepelajari hukum tersebut dilakukan manakala seseorang yang telah mempelajari hukum positif ingin mengetahui lebih dalam akar permasalahan dalam hukum positif tersebut, proses penalaran dalam mencari akar permasalahan tersebut akan terus menukik dalam, sehingga mencapai hakiki dari hukum itu dan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti : mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya, apa yang menjadi tujuan dari hukum, bagaimana seharusnya hukum itu dipahami, apa hubungannya dengan individu dalam masyarakat, apa yang seharusnya dilakuakan dalam hukum, apakah keadilan itu, dan abagaimanakah hukum yanga adil .
Dalam konteks hukum Indonesia, terdapat banyak sekali instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setap orang, kelas atas, kaum pinggiran, laki-laki, perempuan. Namun, bagaimanakah penegakannya dalam praktik kehidupan masyarakat sehari-hari?. Mengapa berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diimplementasikan untuk mendatangkan keadilan sebagaimana yang didinginkan dalam perumusannya? Pengamatan penulis menunjukakan bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka, terutama yang berasal dari lapisan masyarakat miskin, kelompok ras, etnis, agama minoritas, yang pada dasarnya tidak memiliki akses kepada kekuasaan. Tulisan ini akan membahas berbagai aliran-aliran teori hukum, untuk dapat menjawab mengapa hukum tidak dapat diiimplementasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN

a. Beberapa Aliran dalam Teori Hukum
1. Teori Pemikiran Yunani dan Romawi
Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum tebesar pada mulanya adalah ahli filsafat, ahli-ahli agama, atau ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini, yakni setelah adanya perkembangan yang besar dalam penelitian, studi tekhnik dan penelitian hukum.
Era baru filsafat hukum terutama muncul sebagai akibat konfrontasi ahli hukum yang dalam tugasnya seringkali berhadapan dengan masalah-masalah sosial. oleh karena itu, teori-teori hukum lama dilandasi oleh teori filsafat dan politik. Sedangkano teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Adapun perbedaannya, teeori hukum lama dan modern, teletak pada metode penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern, seperti teori hukum para filsuf ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri. Demikianlah para filsuf telah berusaha membangun teori tenang hukum dan teori tentang pembuatan undang-undang, dan mencoba mempersatukannya dengan suatu gagasan yang akhirnya memecahkan persoalan yang sama dengan tugas menghasilkan satu yang sempurna, yang harus berdiri teguh selama-lamanya .
Para ahli pikir romawi telah meletakkan dasar-dasar ilmu Hukum Analitis Modern, tetapi sumbangan mereka terhadap filsafat hukum tidaklah banyak. Apa yang ada, kebanyakan dipilih dari berbagai sumber yang sangat tua, seperti karangan Cicero dan Ceneca. Sebaliknya, dari para ahli pikir Yunani dapat dipelajari secara sepintas perihal hukum kontrak yang modern, ganti rugi atau hak milik. Yunani, boleh disebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama dalam teori hukum sekarang dapat dikaitkan ke belakang kepada bangsa tersebut. Masalah-masalah utama yang dibicarakan dalam teori-teori hukum telah mendapatkan perumusannya pada masa itu .
Masalah hubungan antara kedilan dan hukum positif menjadi pusat perhatian para ahli pikir Yunani, sama halnya dengan pemikiran tentang hukum sejak saat tersebut. Pada masa-masa sebelumnya, para pemikir alam dari Milesia beranggapan bahwa sebagai sumber hukum, alam bebas lebih kekal dari undang-undang buatan manusia.
Tokoh –tokoh pemikir pada masa ini adalah antara lain Plato dan muridnya Aristotles. Dalam Republik, Plato banyak menyatakan tentang pola penurunan kualitas yang mengarah pada bentuk-bentuk degenerasi konstitusi politik. Bentuk degenerasi ini berawal dari bentuk pemerintahan, yakni Timarsi yang berubah dari Oligarki ke demokrasi dan berakhir pada Tirani. Timarsi adalah sistem politik yang ditandai dengan kegagalan kelas dengan penguasa, sebab pendidikan penguasa tersebut didominasi oleh orang-orang yang memiliki keahlian perang. Kelas penguasa terbagi semi melawan dirinya sendiri, sehingga kekuasaan jatuh ke tangan kelompok yang agresif dan gila kehormatan.jika kekayaan dan kehormatan telah menjadi acuan segala-galanya, maka sistem pemerintah akan berubah menjadi oligarki .
Oligarki ditandai dengan adanya kesenjangan dua kota, yakni kota kaya dan kota miskin. Akibatnya kan banyak terjadi peperangan, sebab kota kaya akan mendominasi kota miskin. Bila kota yang dihuni kaum miskin berhasil menggulingkan kaum kaya, maka akan menjadi bentuk sistem politik yang disebut demokrasi. Dalam negara demokrasi setiap warga adalah penguasa untuk dirinya sendiri atau individu menghamba kepeda kepentingan dirinya saja. Ttidak ada kebijakan yang konsisten dan tidak ada aturan main yang jelas, sebab semua sistem pemerintah didasarkan atas mayoritas, kemudian jika kelas miskin mengorganisasi diri, kemudian bersama-sama menumbangkan kelas kaya, maka yang akan terjadi adalah sebuah tirani. Kerusakan negara disebabkan oleh kerusakan psikologis ynag terjadi. Pendidikan sebagai hal esensial dari struktur konstitusi ri negara ideal telah mengalami kerusakan psikologis. Selanjutnya akan dikaji lebih dalam dalam poin hukum vs sratifikasi sosial

2. Aliran Hukum Alam
Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi. Menurut Friedman yang saya kutip dari bukunya Sutikno, sejarah Hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan mutlak). Pengertian hukum alam berubah ubah mengikuti perubahan masyarakat dan keadaan politik. Hukum alam dalam peranan di berbagai fungsi diantaranya adalah:
A. Dipergunakannya hukum alam untuk mengubah hukum perdata Romawi yang lama menjadi suatu sistem hukum umum yang berlaku diseluruh dunia.
B. Dipergunakannya sebagai senjata dalam perbuatan kekuasaan antara gereja dari abad pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak gereja maupun oleh pihak lawannya
C. Dipergunakannya sebagai dasar hukum international dan dasar kebebasan perseorangan terhadap pemerintahan yang absolut.
D. Dipergunakannya oleh para hakim di Amerika Serikat dalam menafsirkan konstitusi. Dengan asas-asas hukum alam, para hakim menentang usaha negara negara yang dengan menggunakan perundang undangan hendak membatasi kebebasan perseorangan dalam soal soal yang menyangkut ekonomi.
E. Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang berkuasa atau sebaliknya untuk mengorbankan pemeberonatakan terhadap kekuasaaan yang ada.
F. Juga dipergunakan dalam waku yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala bentuk ideologi
G. Sebagai dasar ketertiban international, hukum alam terus menerus memberikan ilham kepada kaum Stoa. Ilmu dan filsafat hukum Romawi, pendeta pendeta dan gereja gereja abad pertengahan dan lain lain.
H. Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar kepada filsafat perorangan dalam Konstitusi amerika Serikat dan Undang Undang dasar modern lainnya.

Melihat sumbernya, hukum alam dapat berupa :
1. Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irrasional) dan
2. Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia

Hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan dianut misalnya oleh kaum Scholastik abad pertengahan seperti pemikiran dari Thomas van Aquinas, gratianus (Decretum), Jhon Salisbury, Dante, Pierre dubois, Marsilius, Padua, Johannes Huss dan lain-lain. Dalam buku-bukunya yang sangat terkenal ”Summa Theologica” ,dan ”De Regrimene Principum’, Thomas membentangkan pemikiran hukum alamnya yang banyak mempengaruhi gereja dan bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga kini. Seperti halnya Aristotles yang membagi hukum itu menjadi 4 (empat) golongan hukum :
 Lex aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap manusia;
 Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan wahyu yang diterimanya;
 Lex Naturalis, inilah yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam, yaitu yang merupakan penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
 Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yanag diperlukan oleh keadaan dunia

Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius yang hidup pada tahun 1583-1645, ia mewariskan buah pikirannya dalam dua bukunya yang termashur yaitu ”De Jure Belli ac Pacis” dan ”Mare Liberum”. Pemikirannya banyak dipengaruhi kaum Stoa dan Scholastik. Menurut Grotius, sifat manusia yang khas adalah keinginannya unuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama, hal ini sesuai dengan watak intelektualnya. Prinsip hukum alam berasal dari sifat intelektual manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh amai. Di atas prinsip-prinsip hukum alam, Grotius membangun sistemnya mengenai hukum internasional. Prinsip-prinsipnya yang peling fundamental adalah pacta sun servanda, yaitu tanggung jawab atas janji-janji yang diberikan dan perjanjian-perjanjian yang ditandatangani. Peraturan-peraturan lain dari hukum alam adalah menghormati milik rakyat dan mengembalikan keuntungan yang diperoleh daripadanya, membetulkan kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan seseorang, dan pengakuan atas hal-hal tertentu sebagai hukuman yang memang seharusnya didapat. Semua prinsip ini masih diakui dalam hukum Internasional meskipun tidak lagi memakai nama hukum alam.
Hukum alam dapat dibedakan ke dalam ”hukum alam sebagai metode” dan ”hukum alam sebagai substansi”. Pertama, hukum alam sebagai metode merupakan yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman kuno sampai kepada abad permulaan abad pertengahan. Hukum alam memusatkan dirinya pada usaha untuk menemukan metode yang dapat dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlainan. Dengan demikian, tidak mengandung norma-norma sendiri melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Kedua, berbeda dengan hukum Alam sebagai metode, sebagai substansi Hukum Alam justru berisi norma-norma. Dengan anggapan ini, orang dapat menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai ”hak-hak asasi manusia”. Hukum Alam yang kedua ini merupakan ciri dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas .

3. Aliran Hukum Positif

Sebelum lahirnya aliran ini berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan Undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang
Selanjutnya, Prof. H.L.A hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut :
 Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being)
 Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral, atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang seharusnya;
 Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
1. mempunyai arti penting,
2. harus dibedakan dari penyelidikan historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum, sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.

Pengertian bahwa sistem hukum adalah sistem logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau diperhatikan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

a). Positivisme hukum yang analistis dari John Austin (1790-1859)

Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal, yakni „The province of jurisprudence determined“ dan ‚Lectures on Jurispredence’. Buku kedua berisikan kuliah-kuliah Austin semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang Hukum, Austin berkata dalam kumpulan kuliah tersebut sebagai berikut :”Law is a command of the lawgiyer”. Hukum merupakan perintah dari penguasa-dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertuup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik dan buruk .

b). Ajaran Hukum murni dari Hans Kelsen

Kami golongkan juga ajaran ini pada aliran positivisme oleh karena pandangan-pandangannya yang tidak jauh bebeda dengan ajaran Austin, Hans Kelsen sebagai seorang neo-Kantian agak bebeda pemikirannya misalnya dengan neo kantian yang lain Rudolf Stammler. Hans Kelsen tegas tidak menganut berlakunya suatu hukum alam walau mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam grundnorm/ursprungnormnya. Sebaliknya, Rudolf stammler sebagaimana telah diuraiakan pandangannya terdahulu, menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walau ajaran hukum alamnya adalah hukum alam yang tidak universal, tetapi daya berlakunya dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ada 2 (dua) teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua yang berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah stufenbau des Rech yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan.
Menurutnya hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis,sosiologis, politis dan sebagainya . Teori Hukum Murni berupaya menghindari pencampuradukan dengan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi tersebut, dan membatasi pengertian hukum dalam posisinya yang eksklusif. Bukan lantaran teori ini mengabaikan atau memungkiri kaitannya dengan bidang-bidang yang lain, melainkan karena hendak meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada ilmu hukum berdasarkan pokok bahasannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaiman ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada, ia adalah ilmu hukum (yurisprudende) bukan politik hukum. Disebut ”murni” karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang bersangkut paut dengan hukum. Tujuan teori ini adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur lain.
Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen ridak memberi tempat berlakunya suatu hukum alam, tetapi bagian ilmu manusia . Etika memberikan suatu penilian tentang baik dan buruk. Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini. Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. ajaran hukum Kelsen hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial .
Ajaran Stufentheori berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum di mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia yang menetapkan sebagai berikut :
• Undang-Undang Dasar 1945.
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
• Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
- Peraturan pelaksanaan lainnya seperti :
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Menteri

4. Aliran Utilitiarianisme

Aliran ini dipelopori oleh Jeremi Bentham (1748-1783) Jhon Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering ( 18..-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang Hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagianna atau tidak. Demikian pun dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula ole ukuran tersebut di atas. Jadinya, undnag-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik .
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitiarianisme yang individual, sedang rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifa sosial. teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme hukum Jhon Austin


5 Madzab Sejarah

Pendasar dari madzab ini ialah friederich Carl von Savigny dan Puchta. Ada pengaruh terhadap lahirnyamadzab ini, yakni pengaruh Montesqueu dalam bukunya ”L’esprit de Lois” yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa mulai timbul dengan hukumnya dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke 19. Lahirnya madzab ini juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber Die Notwendigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur deutcchland-keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi negeri Jerman. Ahli hukum perdata Jerman menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (code napoleon). Seperti diketahui setelah Prancis meninggalkan Jerman timbul masalah hukum apa yang hendak diperlakukan di negara ini. Juga, merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap aliran hhukum alam dan aliran hukum positif .
Pandangan Von Savighni berpangkal kepada bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu volkgeist- jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yaang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Karenanya, demikian von Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapatnya berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya .



5. SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Pendasar madzab ini dapat disebutkan, mislnya Roscoe Pound, Uegen ehrlich, Benyamin Cordozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran madzab ini yang berkembang di Amerika :
Hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Madzab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living-law yang hidup di dalam masyarakat. dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthes edari thesenya, yaitu positivisme hukum dan anthithesenya Madzab sejarah. Dengan demikian, sosiological jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya antara lain : kedua konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivisme hukum dan madzab sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum . hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atauu mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu .
Jadi, dengan kata lain janganlah diulang lagi kesalahan yang dianut para ahli filsafat hukum abad ke 18 yang hanya memahamkan hukum sebagai perumusan akal semata-mata dan sarjana-sarjana hukum mazhab sejarah yang beranggapan bahwa hukum hanyalah merupakan perumusan pengalaman.

6. PRAGMATIC LEGAL REALISM

Menurut Friedmann yang saya sadur dari bukunya Lili Rasjidi dalam Dasar-Dasar filsafat dan Teori Hukum membahas madzab ini masih bertitik tolak pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar-pendasar dari madzab ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan lain-lain. Roscoe Pound pun dapat juga digolongkan pada madzab ini selain sociological jurisprudence berkenaan dengan pendapatnya bahwa hukum itu merupakan a tool of sociological engineering .
Menurut Llewellyn, realisme ini bukanlah merupakan suatu aliran di Filsafat Hukum , tetapi hanyalah merupakan gerakan (movement) dalam cara berfikir tentang hukum.

7. FEMINIST JURISPRUDENCE

Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum selama beberapa dekade terakhir. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum , tepatnya pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika
Masih banyak yang menganggap hukum yang baik adalah hukum yang netral dan objektif. Bagi para feminis (pembela hak-hak asasi perempuan) anggapan seperti ini sebenarnya malah melegitimasikan ketidaksetaraan gender, orientasi seksual, etnisitas, rasa dan kelas yang ada dalam masyarakat. begitulah, pada akhir tahun 1960-an dan khususnya selama tahun 1970-an, di Amerika dan Eropa para feminis mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk teori hukum berprespektif feminis (feminist jurisprudence). Para feminis menganggap hukum yang baik adalah yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya siapa saja) yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut.
”Netralitas” dan ”objektifitas” hukum yang diandaikan oleh teori Positivisme Hukum dalam praktiknya terbukti membenarkan marginalisasi perempuan dan berbagai kelompok minoritas lainnya. Sebab melalui anggapan tentang hukum yang memiliki logika internal dan tertutup, maka hukum justru hanya melegitimasikan kebenaran patriarkis tentang norma hubungan pria dan perempuan yang berlaku di masyarakat, maupun kebenaran rasial, kebenaran ideologi orientasi seksual .

B. KRITIK TERHADAP POSITIVISME vs STARIFIKASI SOSIAL

Penggunaan kata ”hukum berpihak”, dapat menimbulkan debat dan polemik yang tidak berkesudahan, terutama bila dilakukan di lingkungan studi hukum. ”Netralitas”, ”Objektifitas”, ”Kepastian hukum” merupakan nilai dan pinsipyang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana hukum. Prinsip tersebut hampir merupakan ”harga mati”, sehingga hukum tidak boleh berpihak. Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi keadilan kepada semua orang, tidak pandang bulu. Dalam paradigma positivisme, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan yang sudah pasti. Lebih jauh terdapat klaim bahwa hukum satu-satunya yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satu-satunya institusi yang mendistribusikan keadilan kepada setiap warga negara.
Prinsip netralitas dan objektifitas benar adanya sebagai the law as ought to be. Namun untuk dapat menegakkannya dibutuhkan kondisi “sine qua non”, seperti struktur masyarakat tidak berlapis secara jelas, di mana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan dan keadilan yang relatif setara, dan birokrasi peradilannya relatif bersih dari korupsi. Prinsip “equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan secara pasti dan adil kepada hampir setiap warga negara dalam kondisi di atas. Namun, dalam masyarakat yang sangat berlapis, ada kesenjangan ekonomi yang luar biasa tinggi, ada kelompok masyarakat yang begitu kaya raya dan berkuasa secara politik, ada golongan menengah, dan seterusnyagolongan miskin yang juga sangat beragam lapisannya. Implementasi dari prinsip “kesamaan di muka hukum”, menjadi diragukan dapat memberi keadilan yang sama. Apalagi pada masyarakat yang di dalamnay “menyimpan” berbagai persoalan ketidakadilan, di mana orang-orang yang berasal ras, golongan, kelas, agama monoritas, dan jenis kelamin yang berbeda tidak mendapat akses perlakuan yang sama, ditambah lagi dengan kondisi birokrasi peradilan ynag korup, maka implikasi “equality before the law”, justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Perlakuan yang berbeda terhadap pihak yang dipandang sebagai “the order” (liyan) dapat dijumpai dalam rumusan yang eksplisit berbagai peraturan perundang-undanagn dan kebijakan, maupun dalam kehidupan praktik sehari-hari.
”Kuantitas hukum berubah secara langsung dan sesuai dengan stratifikasi, peringkat kedudukan, integrasi, kebudayaan, organisasi dan penghormatan”Donald Black
Dalam stratifikasi sosial ini telah jelas jelas mempengaruhi terhadap peran hukum dalam proses penegakannya. Karena hal ini dipengaruhi oleh status sosial dalam masyarakat tersebut, semakin rendah status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin banyak perangkat hukum yang mengaturnya. Dan semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, semakin sedikit perangkat hukum yang mengaturnya. Masalahnya adalah keadaan seperti itu sangat bertentangan dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status dan sebagainya (persamaan di depan hukum) yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum.
Dalam praktiknya, kesenjangan atas berlakunya suatu kekuatan hukum dalam menindak perkara yang dilakukan oleh masyarakat dalam strata sosial yang berbeda, dapat dilihat dalam berbagai kasus. Dalam kaitan ini dicontohkan dengan praktik menindak seorang pejabat tinggi yang terlibat dalam pungutan liar, daripada menindak unsur unsur rendahan dari suatu sistem birokrasi. Dalam contoh kasus lain diantaranya adalah ketika seorang hakim harus mengadili tiga orang pencuri ayam, dengan tiga kasus yang berbeda, yaitu korbannya berbeda dan waktu serta lokasi pencuriannya pun berbeda, maka dikatakan secara normatif, peraturan hukumnya persis sama, yaitu semuanya harus mengacu pada ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang unsur tindak pidananya terdiri dari: ”setiap orang yang mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk menguasai atau seolah-olah memiliki (karena tidak mungkin si pencuri memiliki legal hasil curiannya) dan dengan cara melawan hukum”. Namun secara sosiologis, aplikasi Pasal 362 KUH Pidana tersebut tidak mungkin persis sama. Misalnya, fakta yang terungkap di persidangan pengadilan :
1. Pencuri pertama, mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep anaknya yang sedang sakit keras, yang jika resep itu tidak tertebus maka anaknya kemungkinan besar akan meninggal dunia;
2. Pencuri kedua, mencuri ayam dengan motif untuk memperoleh uang untuk bisa bermalam minggu dengan pacarnya;
3. Pencuri ketiga, mencuri ayam dengan motif membeli narkoba.
Dalam penentuan keputusan perkara tersebut jika seorang hakim itu baik, maka tidak mungkin menjatuhkan vonis yang persis sama kepada tiga pencuri tersebut. Kemungkinan hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal ancaman pidana untuk pencurian terhadap pencuri ketiga yang mencuri karena untuk membeli narkoba, dengan pidana sedang untuk pencuri kedua yang mencuri demi dapat bermalam minggu dengan pacar dan dapat dijatuhkan pidana percobaan saja, untuk pencuri pertama yang mencuri demi dapat menebus resep maka dapat dibebaskan . Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pencuri ketiga (yang mencuri dengan motif membeli narkoba) adalah putra pejabat? Akankan mendapatkan ancaman maksimal ataukah bebas dengan tebusan?
Pada kasus diatas, bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak diatur secara ketat oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFevre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit) .
Dalam pandangan masyarakat yang berada dalam satus sosial yang berbeda ini memberikan gambaran singkat tentang bagaimana hukum melegitimasi, dan secara paksa mendukung, sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Di sini, lagi-lagi ”kemiskinan kekuasaanlah yang menyebabkan represif. Semakin lemah sumber daya tatanan politik, dalih ”penjagaan perdamaian” akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo. Pemegang kedaulatan awal meminjam kekuasaan dari mereka yang kuat, sehingga mendukung hirarki hak-hak istimewa. Institusi-institusi politik yang lahir kemudian tetap terdistorsi oleh partisipasi yang tidak seimbang dari mereka yang berkuasa dan mereka yang lemah .
Donald Black yang dikutip dari buku khudzaifah Dimyati menyatakan bahwa gaya hukum yang berfariasi menurut arahnya dalam hubungan dengan stratifikasi, maka hukum yang bersifat pidana bergerak ke bawah (dalam stratifikasi), sedangkan yang bersifat teraputis bergerak ke atas dan bersifat konsiliatoris berlaku yang antara orang-orang yang sama kedudukannya. Dalam hubungannya dengan morfologi, maka hukum cenderung bersifat akusator, apabila berlaku antara orang-orang yang sangat mengenal, namun bersifat teraputis atau konsiliatoris, jika berlaku sesamanya. Orang-orang yang tidak terorganisasikan lebih mudah terkena hukum pidana, sedangkan orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang baik dapat mengandalkan diri pada hukum kompensator .
Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa sebenarnya keberadaan hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Akan tetapi dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya, ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukannya dukungan kekuasaan .
Masyarakat tipe ini dapat dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Sehingga konsep law as a tool of social engineering-nya Roscoe Pound yang merupakan inti dari pemikiran aliran Pragmatic Legal Realism dapat diterapkan, dan hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum yang memenuhi kebutuhan atau disebut hukum responsif . Sayangnya, di Indonesia yang menonjol adalah perundang-undangan yang lahir atas konspirasi politik kekuasaan saja tanpa sepenuhnya berdasar pada kebutuhan masyarakat, sehingga aliran positivisme hukum sangat kental di negara kita, yurisprudensi berperan namun tidak seberapa.
Sehingga pendapat teori Karl Marx memberikan penegasan bahwa hukum merupakan sarana yang dipergunakan oleh pihak memegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya . Dan penulis sepakat dengan teori tersebut bahwa hukum adalah produk politik (kekuasaan) yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan apakah hukum yang mempengaruhi ada 3 macam jawaban untuk dapat menjelaskannya :
1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
2. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atas kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain. Karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya, memaksakan tanggung jawab kepada, namun mengabaikan klaim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah. Sebagai contoh, ketika cita-cita liberal tentang kontrak dan persamaan menghapus hukum kebiasaan tentang tuan dan pelayan, cita-cita tersebut juga mengurangi kapasitas hukum untuk melihat kenyataan tentang kekuasaan dalam hubungan perburuhan. Kebebasan berkontrak memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga meletakkan dasar bagi hubungan subordinasi yang tidak diatur .
Dalam telaah hukum kritis dapat dilihat bahwa pada hakekatnya hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling mengayomi. Namun, di pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas (Smart, 1990). Pada sisi yang kedua ini, terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum ”dipersandingkan” dengan berbagai pengalaman perempuan, kelompok miskin, kelompok minoritas, pendeknya kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum akan digunakan untuk tujuan baik atau ”tidak baik” (melaanggengkan kekuasaan), tergantung ”man behind the gun”

KESIMPULAN

1. Dari sekian banyak aliran yang ada dalam teori hukum, dua kelompok besar, yaitu (1) menyatakan hukum sebagai suatu sestem yang pada prinsipnyadapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tenang kondisi sisem itu sekarang. Perilaku siatem ditentuakn sepenuhnya oleh bagian-bagian terkecil dari sitem itu dan teori akan menjelaskan persoalan sebagaimana adanya tanpa keterkaiatan dengan pengamatnya.(2) pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur, tetapi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidak beraturan, tidak dapat diramalkan dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi dari pengamatnya dalam memaknai hukum tersebut .. Critical Legal Studies (CLS) dengan pemikirnya, Roberto Unger, dapat dimasukkan ke dalam kelompok kedua ini. Gerakan-gerakan untuk mendekonstruksikan (hukum) juga sejalan dengan prinsip terakhir tersebut.
2. Pada hakekatnya hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling mengayomi. Namun, di pihak lain, hukum juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas (Smart, 1990). Pada sisi yang kedua ini, terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum ”dipersandingkan” dengan stratifikasi sosial atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum akan digunakan untuk tujuan baik atau ”tidak baik” (melaanggengkan kekuasaan), tergantung ”man behind the gun”

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali, Prof. Dr. Menguak Teori Hukum danTeori Peradilan termasuk Interpretasi Undang-Undang, Kencana Prenada group, jakarta, 2009
Ali Syaifuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Dimyati Khudzaifah Dr.,Teorisasi Hukum, Muhammadiyah Unv. Press, surakarta, 2004,
Friedman, The Task of Law- Tugas Hukum (terjemahan Drs. Muhammad Radjab) penerbit Bhratara, Jakarta.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2008
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2009
K. Dwi Susilo Rahmad Dr. Intgrasi Ilmu Sosial Upaya Integrasi Ilmu Sosial, Tiga Peradaban, Ar Ruzz, Jogjakarta, hal 193
Lili Rasjidi Prof. Dasar-dasar Filsafat Hukum , citra Aditya, Bandung, 1996
Rahardjo Sacipto, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000
Nonet Philippe & philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung 2008
Sudarsono. DRS. S.H. Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
Sutikno, Filsafat Hukum,Pradnya-Paramita, Jakarta, 1976, Jilid II
Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum menuju Hukum yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Obor, Jakarta
Soekanto Soerjono, Prof. dr. M.H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hukum, RajaGrafindo Persada, jakarta,